Laman

Kamis, 11 Februari 2010

Kerajaan Kendahe dan sekitarnya

Dari perspektif dinamika kependudukan, Tampungan Lawo atau Sangihe Besar pantas dicatat. Karena di pulau inilah sebagai akibat dinamika politik, sosial dan budaya penduduknya diduga sejak abad 15 muncul pemerintahan lokal/tradisional . Pertama kali, dibuktikan lewat catatan jurutulis Magellan tahun 1421, Antonio Pigaffeta. Di Sangihe, Pigafetta mencatat ada empat raja. Dua di Siau dan satu di Tagulandang. Tapi sumber sejarah tiga abad sesudahnya, hasil tulisan F. Valentijn yang datang ke Sangihe awal abad ke-18, menyebut awalnya hanya dua saja kerajaan di Sangihe, yaitu Tabukan dan Kalongan. Menurutnya, nanti kira-kira tahun 1670 muncul sembilan kerajaan di Sangihe, yaitu: Kerajaan Kendahe , Kerajaan Taruna, Kerajaan Kolongan, Kerajaan Manganitu, Kerajaan Kauhis, Kerajaan Limau, Kerajaan Tabukan, Kerajaan Sawang (Saban) dan Kerajaan Tamako.

Namun, kemudian kerajaan yang terakhir (Tamako) menjadi bagian Siau. Sementara, Raja Limau ditumpas pasukan kiriman Padtbrugge. Kerajaan ini hancur lebur. Dan, Sawang bergabung dengan Kerajaan Taruna dan Kerajaan Kolongan. Sedangkan Kauhis bergabung dengan Manganitu.

Pada tahun 1898 Kerajaan Kendahe dan Kerajaan Taruna digabung menjadi satu. Di dua wilayah inilah tahun 1919 Raja Soleman Ponto memerintah dengan pusatnya di Kota Tahuna kini. Artinya, pada tahun 1900-an tersisa empat kerajaan saja: Tabukan, Manganitu, Siau dan Kendahe-Taruna.

Terkait dengan hubungan keluar, dua kerajaan awal, Tabukan dan Kendahe di Sangihe Besar, kental mendapat pengaruh sistem kekuasaan di Sulu dan Mindanao (Filipina). Meski kalau ditelaah seksama semua silsilah raja-raja Sangihe-Talaud, Siau, Bawontehu (Manado) dan para keturunan Mokoduluduk lain praktis semua terkait kawin-mawin dengan para penguasa di Mindanao.

Sebuah karya sastra lisan (bansil) wilayah Tabukan membeberkan nama-nama kerajaan (yang diberi garis bawah) sekaligus raja-rajanya (ditebalkan hurufnya) yang pernah dikenal masyarakat Sangihe. Kutipan dari karya sastra khas bansil ini ditampilkan dalam ejaan asli van Ophuisen. Kata ’Soe‘ (atau dibaca ‘su’) berarti ‘di’. Kata, ‘’I” sebagai kata penunjuk orang. Taoe atau tau artinya orang atau anak.


‘’Soe Manaro i Laloda, Soe Wenang i Donangbala,

Soe Tahoelandang i Pako, Madolokang i Tamoengkoe.

Soe Siaoew i Mohonise, soe Pehe i Winsoelangi

Soe Tamako i Kakalang,

Soe Manganitu i Tolo, Mahoeboengan i Tompolioe,

Soe Tahoena i Woentoeang, Malahasang i Poeloentoembage,

Soe Kalongan i Tatehe taoe maka Tehe woba,

Soe Kendahe i Hioeng, Malinkaheng i Wagania,

Soe Talawide i Poeko, taoe Pepoekoliwoetang,

Soe Sawang i Rodoti, Welengang i Pontolawokang,

Soe Sahabe i Matali , Sohowang i Pangaloreloe

Soe Tawoekang i Hama, Rimpoelaeng i Woeateng

Soe Loemaoege i Taboei, Kaloesada i Ratoengboba

Soe Koema i Kolowoba

Soe Koeloehe i Makakoeheting soe Pako Woelele

Soe Manaloe i Loemampoe Tonggentoelang i Megenoe

Soe Moade I Kansile Manoewo I Ongkedio’’21


Sebelum disebut sebagai raja, pemimpin komunal mendapat gelar ‘datu’. Alex Ulaen menyebutkan dalam beberapa bukunya, kedatuan merupakan awal dari sistem kepemimpinan komunal (proto pemerintahan). Sistem ini pantas diduga sebagai pengaruh Islam yang tersebar dari Malaka (Melayu). Di Sangihe salah satu titik masuk Islam adalah dari Utara, yaitu Sulu dan Mindanao. Di Filipina, misalnya, Syarif Kabungsuan atau Syarif Muhammad, sang pembawa Islam di Sulu sekaligus dikenal sebagai pembentuk sistem kedatuan pertama di Maguindano Mindanao. Kata ‘datu’ merupakan kata Melayu lama. Islam awal dari wilayah Mindanao terkait dengan jaringan Persia.

Kerajaan Tabukan disebut merupakan kerajaan tertua di abad ke-15 di Sangihe dan Talaud.22 Meski menurut sebuah kajian yang diterbitkan Kyoto University,23 sebelum itu sudah muncul beberapa kedatuan, baik di bawah pimpinan datu dan pemimpin yang bergelar kulano.

Sebelum kemunculan kedatuan di Tabukan, kajian Alex Ulaen et al menyebut kiprah awal Bowontehu yang terkait dengan tokoh sentral Mocoduludugh (Mokoduludut).24 Wilayahnya meliputi pulau-pulau sekitar teluk Manado, pesisir Utara pantai Sulawesi Utara. Molibagu, Bentenan dan wilayah Ratahan.

Dalam catatan beberapa dokumen, rombongan pimpinan Mokoduludugh melakukan perjalanan dari Molibagu dan mengelilingi tempat-tempat di Bolaang Mongondow, Minahasa, lantas ke pulau Lembeh, dan kembali ke daerah sekitar kaki gunung api Lokon.

Kemudian rombongan itu mendiami tempat yang diberi nama Bentenan, dan akhirnya ke pulau Manaro (Manado Tua). Tempat akhir ini sering dikaitkan sebagai lokasi Kerajaan Bowontehu sampai pasca kedatangan pihak Portugis.

Seorang tokoh bernama Lokongbanua II, yang juga keturunan Mokodulut, tercatat pergi dari Bawontehu ke pulau Siau dan mendirikan Kerajaan Siau. H.B. Elias menyebut tahun pendiriannya adalah 1510. Kerajaan ini berpusat di kediaman Lokongbanua II di Kakutungan

Kerajaan Tabukan yang disebut merupakan bentuk kerajaan awal di kawasan SaTaS sering dikaitkan dengan kiprah dua tokoh, pertama Gumansalangi. Sedang, tokoh legendaris kedua bernama Makaampo Wawengehe.

Gumansalangi disebut sebagai tokoh yang mendirikan kedatuan Tampungan Lawo atau Tabukan antara tahun 1300-1350 yang wilayahnya meliputi Sangihe dan wilayah Filipina Selatan. Tokoh ini dikisahkan asalinya adalah pangeran dari seorang sultan di Mindanao Selatan.

Menurut cerita, pangeran Gumansalangi dihukum ayahnya dan dibuang dalam hutan. Di situ malah dia bertemu Sangiangasa atau Kondawulaeng, seorang puteri kayangan yang lantas jadi istrinya. Keduanya menunaikan hukuman dibuang dengan menaiki kendaraan gaib, seekor ular besar, ke tempat yang akan ditandakan dengan deru guntur dan kilatan petir silih berganti.

Setelah singgah di beberapa tempat di antaranya pulau dan gunung bagian Selatan SaTaS, yang disebut adalah Tagulandang dan Siau, akhirnya keduanya tiba di puncak gunung Sahendarumang.

Ketika berada di atas gunung Sahendaruman (di pulau Sangihe) keduanya mendengar guruh-gemuruh guntur dan singsing menyingsing petir. Itu adalah pertanda yang diberikan ayah Gumansalangi bahwa mereka sudah tiba di tujuan. Keduanya pun lantas turun ke pemukiman penduduk dan di sana Gumansalangi dijuluki sebagai Medellu (guntur) sedang Sangiangasa sebagai Sangiangkila (Puteri Kilat).

Datu Gumansalangi mempunyai dua anak, Melintangnusa dan Melikunusa. Melikunusa berlayar ke Selatan dan tiba di Mongondow. Dia mengawini Monongsangiang, putri Mongondow. Dan wafat di sana. Sebaliknya, Melintangnusa menggantikan ayahnya sebagai datu kedua (1350-1400). Dia banyak kali berkunjung ke Filipina Selatan dan bahkan meninggal di sana.

Kedatuan ini sepeninggal Gumansalangi dibagi menjadi dua, yaitu: Kedatuan Sahabe di bagian Utara dan Kedatuan Salurang di Selatan.

Tokoh kedua yang juga penting berkaitan dengan Tabukan adalah Makaampo Wawengehe. Penguasa kelahiran Rainis, Talaud, yang pada masa kanak-kanak ditinggal mati ayahnya. Dia kemudian diasuh di rumah dua pamannya di Salurang (Sangihe). Makaampo pada saat dewasa menyatukan kembali kedatuan Salurang dan Sahabe dan memerintah di sini antara 1530-1575. Daerahnya meliputi: Sahabe, Tabukan, Lapango, Kuma, Kuluhe, Manalu dan Salurang. Kerajaan ini masih eksis saat kedatangan bangsa-bangsa Barat (Portugis, Spanyol, Belanda) meski sudah diperintah generasi raja berikutnya.

Jika dicermati besaran wilayah kerajaan-kerajaan yang disebut-sebut tadi, jelas wilayahnya tidak seberapa luasnya. Misalnya, bila dibanding dengan wilayah kerajaan-kerajan kontinental atau kerajaan maritim besar. Namun realitas ini tidak sedikitpun meri-saukan Nico Makahanap25,, peminat sejarah dan budaya SaTaS. Dia menyatakan, ‘’dibanding dengan kerajaan-kerajaan Eropa sezamannya yang kini masih bisa dilihat sisanya, seperti Liechten-stein, Monaco, Andora dan San Marino, wilayah kerajaan-kerajaan di Sangihe-Talaud jelas jauh lebih besar.”

Kerajaan-kerajaan di pulau Sangihe hingga permulaan abad ke-20 tercatat mencakup wila-yah pulau-pulau Talaud. Tidak terkecuali daratan besar tanalawo. pulau Karakelang, pernah terbagi menjadi bagian wilayah dari kerajaan Tabukan, kerajaan Manganitu, kerajaan Kendahe-Taruna, kerajaan Siau dan kerajaan Tagulandang.26

Tercatat pula ada kerajaan yang ‘wilayahnya’ sampai ke bagian-bagian negara Filipina kini. Kendahe misalnya disebut-sebut dalam beberapa situs di Mindanao sebgai candahar mempunyai wilayah ke Mindanao. Kerajaan ini mula-mula merupakan bagian dari kerajaan Mindanau Tubis.

Adapun wilayah Kerajaan Kendahe setelah pisah dari Tubis meliputi Bahu, Talawid, Kendahe, Kolongan, Batuwukala dan pulau-pulau sekitarnya termasuk Kawio, Lipang, Miangas sampai sebagian Mindanau Selatan. Bagian yang di Mindanao merujuk pada data Valentijn adalah Coelamang, Daboe (Davao), Ijong, Maleyo, Catil dan Leheyne,

Meski demikian, penting digarisbawahi pada waktu lalu konsep kekuasaan tidaklah total dipahami sebagai kekuasaan kewilayahan dalam pemahaman kini.Kala itu, kekuasaan dominan terkait dengan kemampuan membentuk kekuatan bersenjata yang mobile demi merebut kendali atas perdagangan tenaga kerja budak dan monopoli atas produk-produk dagang lain27. Sedang, kekuasaan menurut Evelyn Tan Cullamar dalam tulisannya ‘’Migration Across Sulawesi Sea” dibangun atas relasi orang atau tokoh lain. Aliansi politik dibangun dominan dengan kawin-mawin di antara para elit pemimpin.

Dalam sistem pemerintahan Kerajaan Tabukan, menurut dokumen dari Kerajaan Tabukan tahun 1927, jabatan setingkat di bawah raja adalah, jogugu. Sedang, di tingkat kampung ada pemimpin yang disebut kapitalaung (di Sangihe) atau apitalau (di Talaud) dan kapitalau (di Sitaro).

Menurut J. Makasangkil, kata capita atau kepala dalam bahasa Spanyol dan Porto, di kawasan SaTaS diartikan sebagai jabatan pemimpin orang banyak (lawo) atau pemimpin untuk sebuah ikatan (lawung= ikatan) atau lau (himpunan berbagai campuran). Jabatan ini diberikan pada pemuka yang karena kecakapannya mampu mengikat atau mempersatukan masyarakat sebagai satu kesatuan hukum; memelihara keutuhan serta adat.

Di bawah kapitalaung ada hukum mayor dan hukum. Di kampung juga ada jabatan yang menangani urusan pengadilan, yaitu disebut kapitan bisara, yaitu jaksa. Kewajibannya adalah menyampaikan dakwaan dan membawa terdakwa ke hadapan majelis pengadilan.

Untuk urusan mengadili dipilih seorang hukum mayor yang dilantik menjadi hulu hakim majelis, sedang raja, jogugu, kapitanglaung,hukum mayor serta hukum berlaku sebagai anggota majelis. Kemudian hari dokumen Belanda Mededelingen 1912 membeberkan kuasa pengadilan dipegang semata oleh raja dan penguasa kolonial.

Adapula jabatan yang secara khusus mengelola pelabuhan. Bergelar syahbandare. Pejabat ini mengatur lalu lintas masuk keluar kapal. Termasuk, menjemput tamu sekaligus menghadapi segala bahaya yang masuk via pelabuhan.

Jabatan syahbandar ini, pertama, pantas diduga merupakan pengaruh sistem pengelolaan pelabuhan yang diadopsi dari kerajaan-kerajaan Islam-Melayu, semacam Malaka yang memang paling terkenal dan menjadi patron perdagangan Nusantara sebelum kedatangan Portugis. Kata ini bisa saja diserap via Ternate di Tabukan.Pemakaian kata itu merupakan bukti kuat pengaruh jaringan dagang ke Malaka. Sebuah konferensi internasional memperingati 500 tahun hubungan historis Indonesia-Portugis pada tahun 2000 pernah menampilkan paper Uka Tjandrasasmita yang detil membedah ihwal perdagangan di pelabuhan-pelabuhan penting sebelum kedatangan Portugis di Goa (1498) dan Malaka (1511). Di dalam tulisan berjudul ’The Indonesian Harbour Cities and the Coming of the Portuguese” konsep syahbandar Malaka sempat diungkap.

Di samping jabatan penguasa pelabuhan itu, kerajaan juga mempunyai bala tentara yang biasanya dikepalai pangeran dan diberi gelar mayore labo atau mayor besar. Di bawahnya ada mayore (mayor), kapita (kapten), lutunani (letnan), ondore adidang (ajudan), aliparese (pembawa bendera), sariang mayore (sersan mayor), sariang dan kaparale (kopral).

Khusus dalam istana Tabukan ada jabatan kapitaratu (kepala rumah tangga istana) dan keneke (juru rasa makanan). Juga ada barisan dayang-dayang yang disebut gunde yang dikepalai pangantaseng. Sedang di tingkat kampung, ada jabatan hakim pemisah, mantri polisi, pemungut cukai, mandor jalan, mantri kerajaan dan ibu-bapa bagi rakyat.28

Sedang di Kerajaan Siau ditemui struktur dan susunan (hirarki) pemerintahan yang secara garis besar serupa dengan yang di Tabukan. Kecuali, sejak tahun 1592, sekembali dari pengungsian di Ternate serta demi menghindari terulangnya serangan pasukan Mindanao sebelumnya, Raja Winsulangi melakukan reformasi pemerintahan.

H.B. Elias, ‘’Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia di Siau” mengurai langkah-langkah reformasi itu:Pertama, raja Winsulangi membentuk sebuah dewan pemerintahan tertinggi dengan nama Komolang Bubatong Datu (Majelis Kerajaan Siau). Anggotanya terdiri dari keluarga raja dan bangsawan namun juga keterwakilan tokoh-tokoh masyarakat terkemuka. Dewan dipimpin oleh Presiden Raja yang terus berhubungan dengan Raja dalam pemerintahan hari ke hari. Dewan ini berkewenangan bersidang menentukan dan mengangkat raja. Pada kasus Raja tidak ada dalam jangka lama atau berhalangan, dewan dapat mengambil inisiatif mengangkat Presiden Pengganti Raja. Ini hanya berlaku dalam keadaan genting dan jarang terjadi.

Dewan itu jelaslah menjadi sarana bagi rakyat untuk ikut serta dalam berbagai urusan pemerintahan. Memang Don Jeronimo Winsulangi berniat agar pemerintahan Siau jangan jadi despot dan penguasa tunggal. Karena dewan ini H.B. Elias menyatakan sifat kerajaan sudah konstitusionale monarchi meski sebenarnya itu akibat kebijakan pemerintahan Portugis.

Kedua, setelah berkonsultasi dengan orang-orang Spanyol raja membentuk pertahanan kerajaan, yaitu angkatan perang darat dan laut. Angkatan darat terdiri dari pasukan kompania, upase dan alabadiri. Kompania adalah tentara biasa, sedangkan upase adalah pengawal raja dan labadiri tentara pengawal istana. Pangkat-pangkatnya sama dengan yang ditemukan di Tabukan, dengan bahasa Porto atau Spanyol.

Sedang angkatan lautnya terdiri dari armada perahu perang bininta, konteng dan kora-kora.Angkatan laut dipimpin seorang laksamana, yang saat itu dijabat Laksamana Hengkeng u Naung yang terkenal karena penjelajahannya dari Filipina hingga Leok Buol dengan beberapa daerah tundukan dan wilayah sahabat. Bahkan pernah mengusir pasukan armada Makassar dari Bolaang Mongondow seperti pernah ditulis beberapa penulis Eopa dan H.M. Taulu. Tak heran H.B.Elias dalam bukunya juga menyebut Siau imperium dalam format kecil.

Ketiga, Raja menciptakan panji-panji atau bendera kerajaan. Warnanya secara khusus diturunkan dari dua warna tradisional dalam ritual Siau pada dewa laut (Mawendo) dan darat (Aditinggi), yaitu masing-masing warna merah dan putih. Dua warna ini bagi masyarakat Siau bersifat sakral.

Mungkin, karena itu perjuangan kemerdekaan Indonesia yang mengusung simbol merah putih Indonesia dengan cepat dan konsisten direspon pejuang-pejuang Indonesia asal Siau yang menjadi partner Soekarno di PNI semacam G.E. Dauhan dan diteruskan para tokoh lain sesudahnya semacam Esly Salekede.

Panji-panji kerajaan Siau ciptaan Winsulangi itu, tampil dalam tiga ukuran dan bentuk. Semuanya disebut sebagai seka-saka. Bendera itu berwarna merah yang dikelilingi bis putih. Bendera ini dipakai terus sampai zaman Belanda. Karena bendera ini, suatu ketika Raja Jacob Ponto dibuang Belanda ke Cirebon. Maklum raja ini tidak mau menurunkan bendera berukuran 80x80 cm di depan istananya. Setelah itu pembuangannya, Belanda sama sekali melarang pengibaran bendera sejensi itu di Siau.

Meski demikian, angkatan perang Siau terus memakainya. Terbukti saat Raja L.N. Kansil yang berangkat ke Tahuna pada tahun 1923 untuk menghadiri perayaan jubelium perak (25 tahun) pemerintahan Ratu Wilhemina. Raja ini memakai bendera itu di perahu kora-koranya dan dengan megah memasuki pelabuhan Tahuna serta disambut secara resmi kala acara itu.

Keempat, urusan pemerintahan diserahkan sepenuhnya kepada Jogugu, yang ketika itu dijabat D’Arras (Darras) yang juga adalah ketua presidenti raja. Perpaduan D’Arras dengan Hengkeng U Naung (atau Hengkengnaung) menghasilkan perluasan wilayah Siau dan penumpasan bajak-bajak laut Mindanao di Laut Sulawesi.

Kelima, supaya mendapat kemajuan yang cepat maka para putera kerajaan (Pangeran Batahi) disekolahkan di universitas di Manila di intramuros.

Adapun struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di kawasan Sangihe-Talaud-Sitaro secara umum dirangkum Steller dalam De Sangi Archipel dengan susunan meliputi jabatan-jabatan:

- Raja

Dibantu Bobato (rijksgroten) atau pembesar istana atau Dewan Raja atau

Presidenti Raja.

- Jogugu

- Presidenti Jogugu (tidak selalu ada)

- Kapten Laut

- Mayore Labo

- Hukum Mayore

- Sadaha Negeri

- Kapitan Bisara

- Sengaji

- Kumelaha

- Sawohi

- Sahbandar

- Marinyo Bisara

- Marinyo Bala

- Marinyo

Sekilas praktik pemerintahannya tidak mengacu pemisahan cabang-cabang kekuasaan atau trias politica, namun mencampurkan cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Meskipun demikian mulai ada pelibatan rakyat dalam kontrol kekuasaan yaitu dalam badan atau dewan raja yang memberi masukan bahkan mengontrol raja. Kontrol itu sangat disadari di Siau sejak Raja Winsulangi. Bahkan di Kerajaan Kendahe pernah pemilihan Raja Makaado (1773-1792) dilakukan lewat pemilihan langsung dan demokratis oleh rakyat.

Negara juga diperlengkapi aparatus militer detil, yaitu angkatan darat dan laut. Dua angkatan ini jelas terkait dengan kebutuhan keamanan dan pertahanan dari berbagai ancaman zaman itu , sekaligus menjadi bukti orientasi maritim kala itu.

Selasa, 09 Februari 2010

Robert Wolter Mongisidi

Robert Wolter Mongisidi

"Setia hingga akhir di dalam keyakinan!"

Riwayat Singkat

Robert Wolter Mongisidi (RWM), pemuda Minahasa dari anak suku Bantik, dilahirkan di desa Malalayang, 14 Februari 1925. RWM atau "Bote" sapaan akrabnya adalah anak dari Petrus Mongisidi seorang petani, ketiga dari 8 bersaudara.

Tamat HIS Bote melanjutkan ke MULO frater sampai kelas 2, karena pada tahun 1942 tentara Jepang menyerbu dan menduduki wilayah Indonesia. Bote akhirnya memutuskan untuk memasuki sekolah guru dan diangkat menjadi guru bahasa Jepang di Liwutung, Sulawesi Utara, pada usia 17 tahun!.

Tugas menjadi guru tidak lama karena keinginan yang kuat untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, Bote meninggalkan kampung halaman menuju Makasar. Perjalanan ke Makasar ditempuh Bote dengan berjalan kaki ke Luwuk sambil mengunjungi kakaknya yang kedua Jan Mongisidi pada waktu itu tinggal disana, dari Luwuk, Bote melanjutkan perjalanan ke Makasar dengan kapal laut. Di Makasar Bote masuk Sekolah Menengah Nasional.

Perlawanan Rakyat.

Setelah pendudukan Jepang berakhir, Belanda kembali mendaratkan pasukannya yang terkenal, Serdadu KNIL dibawah pimpinan Westerling, langsung mengambil alih tangsi Mariso yang sebelumnya ditempati Jepang. Rakyat Sulawesi menjadi marah terutama para pemudanya yang tidak mau dijajah kembali. Bentrokan terjadi disana-sini, para pejuang Sulawesi berusaha mengusir penjajah. Para murid dan guru Sekolah Menengah Nasional beramai-ramai menyebarkan plakat mengajak seluruh rakyat bangkit melawan penjajah. Bote dan kawan-kawan dalam organisasi Angkutan Muda Pelajar menyusun siasat untuk merebut tempat-tempat yang dikuasai Belanda seperti Gedung Radio Makasar, Stasiun Radio Matoangin, Kamp Mariso dan Kantor NICA. Terjadi pertempuran sengit tanggal 27 Oktober 1945 dikota Makasar untuk merebut tempat-tempat penting diatas. Belanda tidak tinggal diam dan menyerbu Markas Besar Perlawanan Rakyat di Jongaya, sarang para pejuang rakyat. Karena kalah persenjataan, Markas Jongaya dapat dikuasai musuh, Sekolah Menengah Nasional ditutup, Bote dan kawan-kawan menyingkir keluar kota dan mengadakan perang gerilya.

Untuk menggalang kekuatan, Bote dan kawan-kawan lalu menuju ke Polombangkeng, markas penjuang yang dipimpin oleh Ranggong Daeng Romo. Ditempat inilah mereka, 16 organisasi perjuangan rakyat bergabung menjadi satu dengan nama LAPRIS (Laskar Pemberontak Indonesia Sulawesi), Raggong Daeng Romo sebagai panglima, Makaraeng Daeng Jaro sebagai kepala staf, dan Bote sebagai Sekertaris Jenderal ditugaskan memimpin pertempuran melawan Belanda. Perlawanan rakyat semakin gencar, rumah-rumah musuh diserbu, patroli serdadu dicegat, kendaraan, senjata dan amunisi disita. Bote sebagai pemimpin pertempuran sering bertindak nekad, karena perawakannya mirip 'Sinyo Belanda' Bote sering menyamar sebagai polisi militer melakukan patroli di kota melucuti serdadu, merampas banyak senjata dan amunisi. Belanda menjadi tidak aman, nama Wolter Mongisidi makin ditakuti, sampai-sampai Belanda mengadakan sayembara untuk menangkap 'Bote' hidup atau mati.

Belanda mengerahkan serdadu KNIL dibawah pimpinan Westerling, sering bertindak kejam, bengis dan melakukan pembersihan membabi-buta membunuh rakyat, 40.000 orang rakyat Sulawesi Selatan terbunuh, rakyat makin marah. Para penjuang walaupun makin sempit ruang geraknya namun semangat tidak pernah padam! Lebih baik mati dari pada menyerah. Pada bulan Februari 1947 terjadi pertempuran hebat di Gunung Langgese, Polombangkeng, pasukan pemberontak mengalami kerugian besar, panglima pasukan Ranggong Daeng Romo tewas dalam pertempuran tsb, pasukan pemberontak semakin terjepit, satu demi satu gugur dlm pertempuran membela tanah air.

WOLTER DITANGKAP.

Setelah pertempuran di Polombangkeng, Bote kembali melakukan perang gerilya, masuk kota menghajar musuh. Sayang tidak lama kemudian Bote yang sedang berada dirumah seorang guru Sekolah Menengah Nasional, dapat ditangkap Belanda yang memang sudah lama mengintai dengan penjagaan ketat rumah tersebut. Mengetahui keberanian Bote yang luar biasa, Belanda tidak menyia-nyiakan kesempatan. Bote dibujuk, akan diberikan beasiswa untuk sekolah di Belanda dan jabatan yang tinggi, asal mau bekerjasama, namun Robert Wolter Mongisidi tidak luntur keyakinannya dan dengan tegas menolak tawaran tersebut. Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan 17 Agustus 1945 harus dipertahankan, Merdeka atau Mati! Belanda menjadi marah atas keteguhan hatinya, Bote dijebloskan kedalam penjara, namun 'harimau' ganas dikurung dalam kerangkeng, dengan kelihaian dan keberanian yang luar biasa Bote dapat meloloskan diri, lepas dari kandangnya, Belanda makin ketakutan.

Sayang sekali hanya 9 hari melakukan perang gerilya melawan musuh, Bote dapat ditangkap kembali dalam sebuah penggerebekan dirumah seorang pejuang di kampung Maricaya. Belanda merasa lega, pejuang paling ditakuti dapat ditangkap kembali, penjagaan khusus untuk Bote dan sangat ketat! Ketika menjadi saksi bagi kawan-kawan pejuang yang akan diadili, Bote tampil dengan kedua tangannya dirantai. Didepan pengadilan dengan tegas Bote berkata : Mereka tidak bersalah, saya yang bertanggung jawab, karena saya yang memerintahkan mereka untuk perang melawan musuh, kalau tuan-tuan mau menghukum, hukumlah saya.

DIHUKUM MATI.

Karena Bote tidak mau diajak kerjasama, Belanda lalu mencari alasan dakwaan untuk menghukum mati, dan tanggal 26 Maret 1949, Bote mendapat giliran untuk diadili oleh pengadilan Belanda dengan tuduhan sebagai pengacau, perampok, pembunuh dan tuduhan buruk lainnya. Bote tetap tenang, tabah, tidak takut atau menyesal sedikitpun! Saya menolak tuduhan sebagai perampok, juga bukan pembunuh. Kalau saya menyerang dan membunuh karena mereka adalah penjajah, saya berjuang membelah tanah air! Tegas Bote didepan sidang pengadilan. Pengadilan Belanda akhirnya menjatuhkan hukuman mati! Bote tidak gentar, dan sudah menduga akan dihabisi Belanda. Sewaktu surat keputusan hukuman mati disodorkan, Bote dengan tenang menandatangani berita acara keputusan tersebut, tidak mengajukan grasi ataupun keringanan hukuman, Bote rela mati demi sebuah kemerdekaan!

Tanpa sepengetahuan Bote, ayahnya mencoba mengajukan grasi, barisan pemuda, pejuang, dan laskar wanita Sulawesi Selatan meminta Belanda untuk meringankan hukuman, bahkan Kongres Wanita yang berlangsung di Jogyakarta juga mendesak Belanda agar membatalkan hukuman tersebut, namun Belanda tetap pada putusannya Robert Wolter Mongisidi harus dihukum mati! Dari dalam penjara, Bote sempat menulis surat kepada Saudara-saudaranya dan para sahabat, antara lain berbunyi : Kalau saya mati, janganlah ditangisi. Saya ikhlas menjadi tumbal untuk membela negara dan menegakkan kemerdekaan. Sudah sewajarnya seorang pejuang gugur dimedan perang. Selain itu janganlah kita membenci Belanda karena orangnya, tetapi karena watak dan nafsu angkara murkanya yang ingin menjajah bangsa lain.

Permintaan terakhir Bote sebelum eksekusi adalah ditembak setelah meneriakan pekik perjuangan "MERDEKA!", menolak untuk ditutup matanya, Bote kemudian menyalami regu tembak satu-persatu sambil berkata : laksanakanlah tugas tuan-tuan dengan baik, tembak saya dengan tepat! Dengan Kitab Injil ditangan kiri dan tangan kanan mengepal bulat sambil meneriakan pekik perjuangan : MERDEKA!, lalu serentetan suara letusan senjata terdengar. Tanggal 5 September 1949, 56 tahun yang lalu, Robert Wolter Mongisidi terkapar rebah kebumi, gugur sebagai kusuma bangsa!

Ketika jenazah diserahkan kepada keluarga, ditemukan secarik kertas tulisan tangan Bote terselip didalam Kitab Injil yang dipegangnya, berbunyi : "SETIA HINGGA AKHIR DIDALAM KEYAKINAN!". Seorang serdadu KNIL, sersan mayor Belanda, yang biasa mengurus jenazah orang-orang yang ditembak mati, berkata : sudah berkali-kali saya menyaksikan orang-orang hendak ditembak mati, termasuk orang Jepang sekalipun, namun baru sekali ini saya melihat seorang pemuda yang begitu tegar menghadapi peluru!

Robert Wolter Mongisidi, gugur sebagai pahlawan bangsa pada usia yang masih sangat muda, 24 tahun!

Kisah Kombangen (Si Pelahap Yang Tidak Pernah Kenyang).

Kombangen adalah kata Bantik yang berasal dari akar kata Kombang, yang artinya tempat penampungan makanan yang masuk ke dalam perut. Pada hewan ayam organ ini disebut Tembolok. Jadi arti dari kata Kombangen adalah orang yang tidak pernah kenyang walaupun yang bersangkutan telah makan sebesar apapun. Tersebutlah di sebuah negeri Bantik di tanah Malesung dimana terdapat sebuah keluarga yang hanya memiliki seorang putra tunggal, yang kemudian diberi nama sebagai Kombangen. Sejak bayi ini dilahirkan, telah menunjukkan keanehan pada diri Kombangen. Pertama, adalah perkembangan tubuhnya yang sangat pesat, yang mana menyimpang dari pertumbuhan normal sebagaimana bayi-bayi yang lain dalam perkampungan tersebut. Kedua, walaupun telah diberi makan sebanyak mungkin, semuanya akan dilahap habis oleh bayi tersebut. Anehnya pula bahwa perut bayi tersebut tidak mengembang, tapi tetap biasa-biasa saja sebagaimana normalnya perut bayi. Demikianlah bayi itu menyandang namanya sebagai Kombangen.

Setelah menanjak remaja, Kombangen mulai menyusahkan dan mengkuatirkan ke-2 orangtuanya. Mengapa ? Mereka mulai kehabisan sumber penghasilan dan uang untuk menghidupi putra satu-satunya yang mereka cintai tersebut. Sebab walaupun remaja ini diberi makan sebanyak: nasi 1 (satu) liter, nasi 1 (satu) belangah besar, nasi 1 (satu) dandang tetap saja dianggapnya sebagai sarapan karena tidak pernah merasa kenyang. Bila keluarga dari Kombangen diundang untuk menghadiri suatu pesta peringatan hari ulang tahun atau pesta syukuran karena keberhasilan anggota keluarga, atau pesta perkawinan, maka selalu mendatangkan heboh dan malu bagi orangtuanya. Sebab makanan pesta tersebut pasti akan disantapnya habis. Sehingga acara-acara resepsi terkait selalu mendatangkan kerugian dan malu bagi tuan pesta karena para tamunya pasti tidak akan memperoleh layanan makanan yang memadai. Akhirnya kepala suku perkampungan di mana Kombangen tinggal mengeluarkan suatu aturan larangan baginya untuk diundang atau hadir pada suatu pesta apapun yang diselenggarakan di kampung maupun di luar kampung.

Setelah memasuki usia muda, orangtua Kombangen makin lebih parah bahkan telah jatuh miskin karena harta benda mereka telah habis terjual dan tidak mampu lagi untuk menghidupi serta memberi makan anak mereka. Kesedihan menyelimuti hati ke-2 orangtuanya, karena dengan terpaksa mereka harus mengambil keputusan untuk mencari jalan bagaimana membinasakan Kombangen. Suatu hari, ayah Kombangen dengan Opasa (alat pancing ikan) di tangan mengajak putranya untuk pergi memancing di sungai yang banyak ikannya lagi pula dihuni oleh banyak Sagudang (Buaya). Setelah sengaja mengaitkan kailnya pada sebuah benda dalam sungai tersebut. Ayahnya berkata pada anaknya: ”do udumai ken opasa ni Papa, ka napa naikai te su hanga” (artinya: nak, tolong nyelam ke sungai karena mata kail papa sotagate di cabang kayu dalam sungai itu”). Kombangen tanpa pikir panjang segera membuka pakaiannya dan terjun kedalam sungai. Disaksikan oleh ayahnya sendiri bagaimana buaya-buaya ganas itu langsung menyergap tubuh Kombangen. Papanya pikir, pasti anaknya itu telah binasa diperebutkan oleh buaya-buaya tersebut, sehingga tanpa pikir panjang langsung meninggalkan sungai tersebut untuk kembali kerumahnya. Sesampainya dirumah, pria paru baya ini langsung berceritra pada istrinya bahwa pasti rencana mereka sudah terkabul, karena disaksikannya sendiri bagaimana Kombangen diterkam oleh buaya-buaya lapar dalam sungai tersebut. Tapi 5 (lima) menit kemudian, suami-istri itu tiba-tiba dikejutkan oleh kehadiran Kombangen dari belakang rumah, yang sedang memikul seekor buaya besar. Sambil berkata pada ibunya,: ”Ma ite kinasa nidingan ku, bote bo hinga ken ka iya kuman” (artinya: mama, ini ikan yang saya bawah, tolong dimasak karena saya mau makan). Sambil meletakkan ikan (buaya yang sudah mati) besar tersebut diatas para-para di ruangan dapur rumah itu. Akibatnya rumah dari keluarga ini diserbu para tetangga untuk menyaksikan hasil tangkapan Kombangen yang notabene menghebohkan seisi kampungnya. Lantas ayah Kombangen selanjutnya menyusun rencana lain untuk melenyapkan anak itu. Dengan sebuah ”Balriung” (Tamako) ukuran besar tajam ditangan, berjalanlah ayah Kombangen dalam sebuah hutan rimba yang tidak terlalu jauh dari perkampungan mereka untuk mencari batang pohon kayu besar yang telah disiapkannya untuk membunuh anaknya Kombangen. Kemudian ayah Kombangen tebang/potong setengah bagian pohon kayu besar itu dengan Balriung dan kembali ke rumahnya. Keesokan harinya, ia mengajak anaknya untuk pergi kehutan itu, dengan tujuan mencari kayu bakar untuk kebutuhan masak di rumah mereka. Sesampainya didekat pohon yang sedang ditebang ayahnya, Kombangen disuruh ayahnya berdiri pada posisi dimana arah kayu besar itu akan roboh. Setelah batang kayu besar itu tumbang, disaksikannya bagaimana kayu itu menghantam dan membenamkan tubuh anaknya kedalam tanah. Dipikirnya pasti Kombangen telah tewas. Dengan tenang ayah Kombangen kembali ke rumah dan menyampaikan pada istrinya bahwa misinya kali ini telah berhasil. Tapi baru saja mereka berkata-kata sebentar, tiba-tiba sepasang suami-istri dan penghuni kampung itu dikejutkan oleh suatu bunyi suara gemuruh yang dasyat berasal dari arah hutan rimba. Setelah dicek, ternyata bunyi gemuruh yang hebat itu berasal dari cabang pohon-pohon yang patah bahkan pohon-pohon kayu yang ikut tercabut karena digilas oleh sebatang kayu besar yang sedang dipikul oleh seseorang. Sebab pohon kayu besar yang ditebang oleh ayah Kombangen dan menimpah tubuhnya ternyata tidak dapat membunuhnya. Bahkan batang pohon tersebut sedang dipikul Kombangen bersama bagian cabang-cabangnya meluncur diatas permukaan tanah sambil menyapu bersih semua pohon-pohon yang dilaluinya, ikut terbawah Kombangen berjalan kearah tempat tinggalnya. Maklum tempat tinggal Kombangen berada di ujung kampung sehingga tidak harus melewati/menggilas rumah-rumah perkampungannya. Setibahnya di rumah dilepasnya pohon-pohon kayu besar-kecil tersebut didekat rumahnya dan berkata pada ayahnya: ”Pa, Ite te kayu pahinga eh” (artinya: Papa, inilah kayu bakar untuk keperluan masak di rumah). Kembali tindakan Kombangen ini menghebohkan bahkan menakjubkan warga yang ada di kampungnya. Ternyata Kombangen memiliki tenaga raksasa dan kesaktian yang super hebat, karena hutan yang dilaluinya telah menjadi amblash rata tanah sebab pohon-pohon besar-kecilpun turut ikut tercabut dan mengikutinya.

Akhirnya orangtua Kombangen berunding ulang bagaimana caranya supaya anak yang mendatangkan kebangkrutan dan kesialan bagi keluarga tersebut dapat disingkirkan. Keputusan diambil, yaitu dengan meng-adu Kombangen dalam suatu pertarungan/perkelahian para jagoan siapa saja atau penguasa wilayah atau daerah tertentu yang diharapkan dapat mengalahkan bahkan membunuhnya. Dengan persiapan bekal perjalanan seadanya, berkatalah ayah Kombangen pada anaknya bahwa mereka berdua akan pergi merantau mencari nafkah hidup karena kesusahan yang sedang menimpah keluarganya. Kombangen memiliki seekor anjing jantan kesayangannya bernama ”Kohotei” (Korotei) yang ikut dibawahnya dalam perjalanan tersebut. Setelah mengetahui bahwa disuatu daerah tertentu terdapat seorang jagoan yang bergelar ”Si Raja Pedang”, maka ayahnya meminta Kombangen untuk perang tanding dengan si jagoan tersebut. Setelah bertarung ternyata Kombangen dengan mudah dapat mengalahkan jagoan tersebut. Selanjutnya kedengaranlah pada ayah Kombangen bahwa disuatu daerah rimba raya pegunungan terdapat seorang penunggu yang bersama pasukannya terkenal hebat dan sangat bengis menjarah hasil kebun dan ternak masyarakat yang bermukim di daerah tersebut. Dibawalah Kombangen ketempat tersebut untuk diadu tanding dengan si penunggu gunung yang terkenal kehebatan dan kejahatannya. Setelah bertarung, ternyata Kombangen berhasil mengalahkan bahkan berhasil membunuh si jagoan pegunungan tersebut. Selanjutnya Kombangen memerintahkan anak buah si penunggu pegunungan itu untuk membagi-bagi hasil rampokkan mereka dan kembali ke rumah masing-masing. Terdengarlah pada ayah Kombangen bahwa di sebuah pulau kecil tinggallah seorang bajak laut bersama pasukannya yang terkenal hebat dan sangat ditakuti karena sering membunuh, menculik, memperkosah anak gadis, dan merompak siapa saja yang diketemukannya terutama masyarakat pesisir tanah Malesung. Karena kesaktiannya, Si Penunggu Pulau tersebut juga mendapat julukan Mamambenteng Lraodo (artinya situkang pemisah/benteng tubuh air laut). Dengan sampan kecil, ayah dan anak itu berhasil mendarat di pulau tersebut. Selanjutnya Kombangen disuruh ayahnya untuk berkelahi dengan Si Mamambenteng Lraodo yang terkenal bengis itu. Dalam perkelahian satu lawan satu itu Kombangen berada dalam keadaan sangat terdesak dan hampir kalah, tapi tiba-tiba anjing kesayangannya ”Kohotei” melompat dan menggigit Tabu (kemaluan Si Tukang Benteng Air Laut tersebut) sampai putus sehingga akhirnya Kombangen berhasil pula membunuhnya.

Selanjutnya bertanyalah Kombangen pada ayahnya: bukankah kita telah memiliki banyak bekal berupa emas dan benda berharga lainnya yang diambil ayahnya dari hasil jarahan dan rampokan si Penunggu Gunung dan Pimpinan Bajak Laut di pulau tersebut ? Mengapa kita tidak pulang saja ke rumah ? Rupanya Kombangen sadar dan tahu bahwa ayahnya menyuruh Kombangen untuk berkelahi dan membunuh bukan karena tujuan untuk mencari nafkah bagi keluarganya tapi memang bermaksud untuk melenyapkannya. Dengan perasaan hati yang berat akhirnya ayahnya berterus terang mengakui bahwa apa yang dikatakan Kombangen itu benar, karena orangtuanya sudah jatuh papah dan sudah tidak mampu lagi untuk memberi makan padanya. Dengan sikap tegas Kombangen kemudian berkata pada ayahnya, bahwa biar saja ayahnya kembali pulang sendirian ke rumah mereka. Sebab Kombangen sendiri telah berketetapan untuk memisahkan diri dari orangtuanya atau menentukan jalan hidupnya sendiri kemanapun langkah kakinya dibawah pergi oleh anjing kesayangannya Kohotei. Dengan bekal emas dan barang berharga yang telah diperoleh ayahnya melalui perkelahian anaknya Kombangen, kedua ayah dan anak tersebut saling berangkulan dengan tangisan air mata masing-masing dan akhirnya mereka berpisah untuk selamanya. Demikianlah suasana haru ini mengakhiri kisah tentang Kombangen ”Si Tukang Pelahap Yang Tidak Pernah Kenyang”. (dikisahkan kembali oleh J. Koapaha)

Kisah Tentang Dumusumabingi (Biou Ni Dumusumabingi)

Dumusumabingi menyandang namanya dalam kata dan arti Bantik, yakni “ Si Semerbak Wangi”. Karena memiliki postur tubuh atletis yang tinggi kekar, memiliki dada yang bidang, pemuda yang tampan nan kulit putih berambut panjang ini selalu memancarkan bau yang wangi ketika berpapasan atau berada ditengah-tengah pergaulan sekampungnya. Pemuda Dumusu dikatakan memiliki dada yang bidang sebab ketika pemuda ini lagi berbaring (tidur) dengan posisi miring diatas Bangku Malrompada (dipan lebar), maka seekor kucing dapat dengan leluasa melewati rongga yang tercipta di bagian ketiak antara tubuh dan dipan tempat pembaringannya. Selain sangat tampan, pemuda ini rajin membantu orangtuanya, suka menolong sesama dan terkenal pemberani (kohotey). Sehingga ia memperoleh sebuah predikat di kampungnya sebagai ”Kohotey Banti”. Olehnya, Dumusu sering dikerumuni gadis-gadis cantik bahkan sangat diminati untuk menjadi suami oleh hampir setiap anak gadis yang ada di kampungnya.

Pada jaman purbakala, sifat homo-homini lupus para leluhur masyarakat Bantik sama halnya dengan keturunan dari nenek moyang Tou Minahasa lainnya, yakni sering terlibat dengan suatu perkelahian atau peperangan kelompok. Dalam peperangan ini terjadi tindakan saling bunuh-membunuh dan membinasakan diantara mereka karena berbagai penyebab. Ada yang disebabkan karena memperebutkan suatu tempat yang memiliki sumber penghidupan yang bernilai tinggi (misalnya sarang burung walet), ada yang disebabkan karena persoalan batas teritorial, dan ada yang disebabkan karena sifat persaingan ras/kelompok dengan istilah homo-homini lupus (artinya merupakan proses seleksi alam dimana satu ras dapat mempertahankan hidup hanya dengan mengorbankan atau melenyapkan ras yang lain). Pergi berperang secara kelompok, dalam bahasa Bantik disebut ”Mako Mahisakulru” atau ”Mabukuan” atau ”Maneke” di suatu medan laga tertentu. Medan laga bisa saja di tempat pemukiman musuh. Berdasarkan mitologi Bantik dalam hal berperang, para leluhur menanamkan suatu tradisi dan semboyan spirit atau yel-yel dengan kalimat ”Banti Taya Mababata”, yang artinya: Bantik tidak pernah kalah. Hal ini terjadi karena sebelum mereka pergi berperang, para pemangku jabatan lembaga adat Bantik seperti: Lrelrean, Talrenga, Balrian, dan Mogandi (Panglima Perang) selalu menyelenggarakan suatu upacara adat untuk bertanya dan mendapatkan jawaban dari para Empung Penguasa Jagat Raya. Tugas dari Lrelrean (Lelean), yakni mendatangi suatu tempat keramat sekelompok leluhur sakti yang terdapat di ujung kampung. Bila dari dalam tempat keramat tersebut dikeluarkan busa berwarna merah, artinya rencana/program Mahisakulru telah direstui dan pasti akan mengalami kemenangan. Bila busa yang keluar adalah berwarna putih, maka rencana Mahisakulru tersebut harus dibatalkan atau ditunda, sebab pasti akan mengalami kekalahan. Selain ini ada lagi yang harus didengar dari Talrenga, yang tugasnya ialah mendengar suara burung Bantik, apakah itu bunyi suara Manguni pada malam hari atau bunyi suara burung Bahakeke pada siang hari. Suara burung ini sebetulnya merupakan suatu konfirmasi dari hasil yang diperoleh Lrelrean, dan biasanya hal ini harus diperhatikan saat-saat atau ketika berada dalam perjalanan Mahisakulru. Upacara adat Bantik untuk memperoleh petunjuk kemenangan atau kekalahan dimaksud, menjadikan para leluhur selalu mengalami kemenangan dalam peperangan atau pertempuran apapun. Sebab bila petunjuk yang diterima adalah suatu kekalahan, maka jelas mereka tidak akan berani Mako Mahisakulru. Atas petunjuk para Empung ini, mendasari lahirnya semboyan para leluluhur Bantik, yaitu: ”Banti Taya Mababata”.

Sekali waktu Potuosan (Pemimpin Kelompok) perkampungan dimana Dumusumabingi tinggal, mengumumkan suatu palakat bahwa kampung mereka akan menghadapi ”Mabukuan” (Mahisakulru) dimana semua kaum pria diminta siap-sedia dan ikut dalam pertempuran tersebut. Setelah Lrelrean melaksanakan tugasnya (melangsungkan upacara adat), memperoleh petunjuk bahwa mereka akan menang dalam Mabukuan tersebut. Karena tempat Mabukuan agak jauh, maka semua pria termasuk pemuda Dumusu berangkat menjelang malam dengan perhitungan mereka akan tiba dan menyerang sasaran menjelang pagi hari. Senjata perang Dumusumabingi adalah sebuah tangkung (semacam samurai) dan sebua tombak yang di ujungnya dipasang golrong-golrong (bunyi-bunyian golong). Namun di tengah jalan, burung Manguni berbunyi dengan memberi petunjuk suara bahwa pertempuran tersebut hanya bisa dimenangkan oleh mereka yang telah berusia lanjut. Berdasarkan suara Manguni itu, Talrenga memberi nasehat/petunjuk pada Mogandi (Panglima Perang), agar mereka-mereka yang masih tergolong usia muda (termasuk Dumusumabingi) tidak diperkenankan untuk ikut dalam medan laga tersebut. Pada malam itu juga dipulangkanlah Dumusu bersama teman-teman seusia mudanya yang lain. Keesokan harinya (cewek-cewek penggemar Dumusu yang notabene tidak tahu-menahu dengan pokok persoalan) gadis-gadis yang ada di kampungnya merasa kaget melihat Dumusu yang tinggal di kampung dan tidak ikut dalam rombongan peperangan tersebut. Sehingga mereka mengeluarkan kata-kata olokan dan sindiran padanya sebagai berikut: “Ulri ka Kapuna Kohotey, Tou Matalrou kute” (artinya dalam bahasa Indonesia: “Katanya Pemberani, Tapi Ternyata Seorang Pengecut/Penakut”). Karena merasa tersinggung dan malu dengan kata-kata sindiran para gadis tersebut, akhirnya Dumusu dengan senjata Tangkung (sejenis samurai) dan Bongkou (Tombak) ditangan berangkat sendirian pergi menyerang musuh. Pada sore hari, kelompok yang pergi Mabukuan tersebut telah kembali dengan kemenangan (artinya tidak seorangpun dari anggota kelompok yang tergores atau luka sekecilpun oleh senjata musuh) namun tidak berpapasan (tidak ketemu) dengan Dumusu di jalan. Menjelang makan malam, kakak pria tertua keluarga Dumusu diantara anggota keluarganya, bertanya: mana Dumusu ? Karena kebiasaan anggota keluarga dalam rumah tersebut selalu lengkap bila melangsungkan makan malam bersama. Dijawab oleh adik-adiknya tidak tahu.

Sewaktu sedang berbaring diatas tempat tidur, kakak pria tertua Dumusu yang juga baru saja kembali dari Mabukuan tersebut, terkejut setelah mendengar suara golong-golong Tombak Dumusu yang melengking tinggi dengan ritme cepat yang dikenalnya sebagai bunyi dari senjata perang adiknya Dumusu. Berkatalah Kakak tertua Dumusu (yang sudah berkeluarga) pada istrinya bahwa adiknya sedang terlibat dengan perang sengit sendirian melawan musuh kampung mereka. Semua anggota keluarga dalam rumah tersebut (termasuk ayah dan ibu kandung Dumusu yang sudah renta) akhirnya dibangunkan (semalam suntuk yang diterangi bulan purnama mereka sudah tidak lagi tidur) dimana mereka kumpul bersama dalam beranda rumah sambil mengikuti (mendengar) lengkingan suara senjata perang Dumusu. Menjelang pagi hari, ritme dengungan bunyi golong-golong pada tombak Dumusu makin lambat dan makin memudar. Berkatalah ayah kandung Dumusu (dalam bahsa Bantik): “Madadiha Te I Tuadi Nu” Setelah fajar menyingsing, bunyi golong-golong senjata Dumusu kedengarannya tinggal satu-satu. Sehingga kakak Dumusu yang tertua (setelah mendapat persetujuan orangtua kandungnya) segera memperlengkapi dirinya dengan senjata perangnya untuk menyusul adiknya yang lagi kepayahan di medan laga tersebut. Sesampainya di tempat Mahisakulru (medan laga), kakaknya menyaksikan ratusan tubuh mayat musuh berserahkan dimana-mana sebagai korban kedasyatan senjata adiknya. Juga didapatinya, Dumusu ternyata sudah tidak dapat bergerak secara leluasa karena tubuhnya sudah tidak dapat berdiri tegak sebab salah satu kakinya “Kinabintusu” (telah terjerat oleh tali musuh yang sangat sulit diputuskan). Walaupun sudah dalam keadaan pincang dan posisi bertahan, kedua tangannya yang kekar masih terus memainkan senjatanya dan satu-dua korban terus berjatuhan bila musuh mendekatinya. Juga walaupun pakaiannya telah compang-camping terkena senjata musuh, namun pada badannya hanya terdapat satu goresan pada bagian lutut kaki yang telah terjerat tersebut. Kakaknya berkata: Ah,.. Ikau Madadiha Te (artinya: engkau sudah kepayahan), dan langsung menawarkan bantuannya tapi ditolak oleh Dumusu. Pihak musuh juga mengira bahwa kehadiran seseorang (yang notabene adalah kakak kandung Dumusu) itu akan diikuti oleh yang lain sebagai anggota pasukan yang siap datang membantu Dumusu. Sehingga pasukan musuh surut beberapa meter ke belakang dan tidak menyerang kakak-beradik tersebut. Sebab mereka pikir, untuk mengalahkan seorang pemuda saja sudah sangat sulit apalagi sudah ketambahan yang lain. Pihak musuh terus meng-amat amati perkembangan situasi dan percakapan Dumusu dengan seseorang yang baru datang tersebut. Kakaknya telah tawarkan bantuan untuk memutuskan jerat pada kaki Dumusu dan mengajak adiknya untuk pulang, tapi semuanya ditolak oleh Dumusu. Kata Dumusu pada kakaknya, bahwa tidak mungkin ia akan kembali berada di tengah masyarakat dan keluarga di kampungnya dengan membawa bekas jeratan tali musuh di kakinya dan goresan senjata musuh pada lututnya. Hal ini merupakan sesuatu yang memalukan dikalangan leluhur masyarakat Bantik. Sebab berdasarkan mitologi dan tradisi Bantik, orang-orang yang dipersiapkan untuk pergi Mahisakulru jangankan hanya tergores atau luka sekecil apapun. Bahkan bila seutas rambutpun terputus oleh senjata musuh, maka secara adat itu dianggap memalukan sehingga yang bersangkutan tidak boleh atau malu untuk kembali pulang ke kampung halamannya. Yang bersangkutan dianggap kalah dalam peperangan, sehingga setibanya di kampung, Mogandi (Panglima Perang) cukup hanya (tanpa berkata sepata katapun) dengan melempar sebatang Kumunou (daun woka kering) keatas atap rumah keluarga yang bersangkutan. Dengan demikian, pihak keluarga penghuni rumah tersebut mengetahui bahwa anggota keluarganya yang ikut dalam kelompok Mahisakulru telah gugur di medan laga. Hal ini menunjukkan jiwa kesatria dan tradisi turun temurun dalam kehidupan leluhur masyarakat Bantik yang dipersiapkan sebagai anggota pasukan yang ikut Mahisakulru atau Mabukuan pada jaman dahulu. Artinya mereka lebih memilih mati ketimbang hidup menanggung malu karena mewarisi ceritra ”mengalami luka ketika ikut kelompok Mahisakulru”.

Dumusu meminta kakaknya untuk segera pulang ke kampung halaman mereka, karena Dumusu sendiri telah berketetapan untuk menyerahkan kematiannya pada pihak musuh, yakni siap diperlakukan sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Kata Dumusu: ini sudah merupakan suratan takdirnya. Kemudian kakak beradik tersebut berpelukan sambil menangis, dan dengan suasana yang sangat mengharuhkan Dumusu meminta kakaknya untuk menyampaikan mohon maafnya pada Lrelrean, Talrenga, Mogandi, dan Orangtua/Keluarganya (termasuk pacarnya) karena Dumusu sadar telah lakukan suatu kesalahan besar. Sebab telah melawan adat-istiadat, yaitu dengan diam-diam bahkan tanpa sepengetahuan dan seijin Mogandi pergi menyerang musuh seorang diri. Karena merasa malu/tersinggung oleh kata-kata olokan gadis-gadis di kampungnya (yang notabene sirik terhadap pacarnya dan bahkan tidak mengetahui perintah/petunjuk Mogandi/Talrenga bahwa Mabukuan ketika itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang dewasa dan bukan untuk orang-orang muda seperti halnya Dumusu). Kakaknya tidak langsung pulang meninggalkan medan laga tersebut tapi surut bersembunyi sebab ingin menyaksikan apa yang akan diperbuat oleh pihak musuh terhadap adiknya Dumusu. Kemudian ia mendengar permintaan adiknya pada pihak musuh, agar segera menghampirinya untuk mengakhiri hidupnya. Kemudian pimpinan perang musuh mendekati Dumusu setelah Dumusu telah letakkan senjatanya jauh-jauh dan dengan keadaan pasrah menundukkan kepalanya, pertanda rela untuk dieksekusi. Selanjutnya pimpinan musuh itu mengangkat pedang terhunus dan memenggal dengan muda kepala Dumusu. Setelah kepala Dumusu terpisah dari badannya, bergemuruhlah teriakan yel-yel kegirangan pihak musuh. Sebab bukan sedikit (ratusan) korban yang jatuh dipihak musuh akibat terjangan kedasyatan senjata pemuda sakti Dumusumabingi. Yang sudah semalaman dan menjelang siang hari bertempur namun belum juga terkalahkan walaupun hanya seorang diri.

Selanjutnya kepala Dumusu dengan rambut kepalanya yang panjang diikatkan pada sebatang kayu dan dipikul oleh 2 (dua) orang, sambil pihak musuh kembali ke kampung halamannya. Setelah musuh meninggalkan medan laga, kakak Dumusu segera menggali lubang dan menguburkan tubuh adiknya yang sudah tak berkepala itu. Bahkan menurut mitologi Bantik, kepala Dumusu ini masih sempat menyerang dan membunuh 2 (dua) orang pemikulnya dengan menggigit putus kemaluan (penis dan buah pelir) mereka. Setiba mereka di kampung halaman, kepala Dumusu digantung di belakang rumah milik kepala perang musuh yang tidak jauh dari beberapa Kakepotan (tempat bertelurnya ayam) yang ada disitu. Pada keesokan harinya, didapati bahwa kepala Dumusu telah memagut mati dan makan semua ayam dan telur yang ada di semua Kakepotan tersebut. Menyaksikan hal itu akhirnya pimpinan perang musuh itu jengkel dan marah sekalian kuatir jangan-jangan akan ada lagi jatuh-korban sehingga mereka memutuskan agar kepala Dumusu harus dibelah menjadi 2 (dua) bagian. Setelah dibelah, bagian kepala Dumusu menjadi Kiokioko (burung elang) sedangkan otak kepalanya berhamburan menjadi Patiukan (Opu Babi Merah). Jadi berdasarkan mitologi Bantik, orang Bantik percaya bahwa Kiokioko (burung elang) yang sampai sekarang masih memangsa ayam peliharaan musuh para leluhur Bantik pada jaman purbakala. Sedangkan Patiukan yang sering juga menyerang dan menyengat orang sampai mati, diyakini pula oleh keturunan leluhur masyarakat Bantik, yaitu merupakan penjelmaan penyerangan roh pemuda sakti Bantik Dumusumabingi atas musuh-musuh mereka.

Demikianlah kisah riwayat pemuda perkasa Dumusumabingi, yang telah ditokohkan dan diwariskan sebagai lambang kesatriaan Bantik dalam kehidupan leluhur keturunan masyarakat Bantik sampai sekarang. Simak kesatria darah asli Bantik ini yang mengalir pada seorang pemuda Bantik lainnya yang eksis pada abad-20, yaitu Robert Wolter Mongisidi. Yang terkenal dengan semboyan perjuangannya rela mengorbankan nyawanya dihadapan regu tembak demi sesama rekan seperjuangannya dalam mempertahankan Kemerdekaan Bangsa Indonesia melawan kolonialis Belanda, yakni: ”Setia Sampai Akhir Dalam Keyakinan”. (Dikisahkan kembali oleh Ir. Joutje A. Koapaha Phd)

Balralrogodo dan Uheytinenden.

Tersebutlah disebuah pemukiman tua sekelompok leluhur masyarakat Bantik bernama Pulrisan (Pulisan) paska evakuasi tenggelamnya sebuah pulau (Panimbulran) di kepulauan Porodisa (SATAL). Negeri Pulisan didirikan oleh keluarga-keluarga yang dipimpin oleh para leluhur masyarakat Bantik yang terkenal seperti Lrobogia (Lombogia), Maidangkai (Mailangkay), Sumalroto (Sumaryoto), Sigaha (Sigar), dan Mainalro (Mainalo). Makin besar jumlah penduduk negeri Pulisan itu dan segera terkenal kemana-mana. Pada jaman dahulu, di perkampungan Pulrisan terdapat satu keluarga yang mempunyai dua anak kakak-beradik. Yang sulung adalah pria bernama Balralrogodo dan yang bungsu adalah wanita bernama Uheytinenden, yang biasa disebut Uhey. Sejak kecil sampai meningkat dewasa, keduanya selalu jalan bersama ke mana saja, tak pernah berpisah barang sekalipun. Karena ayah kandung mereka telah tiada dan yang mengurus serta memelihara mereka tinggal ibu semata. Sebagai seorang pria yang satu-satunya dalam keluarga tersebut, Balralrogodo telah berperan sebagai ayah bagi anggota keluarga, mencari nafkah membantu ibunya dalam menghidupi mereka. Namun dalam pelaksanaan pekerjaannya, Balralrogodo selalu disertai oleh adiknya Uhey. Menjelang dewasa, dari hari kehari Uheytinenden tampil semakin menawan, dan tentunya menggairahkan setiap pandangan mata pemuda di perkampungan tersebut. Uhey merupakan satu-satunya gadis yang tercantik di perkampungan Bantik itu. Walaupun sudah dewasa, kakak-beradik ini selalu bermain bersama baik menjelajahi hutan, mandi/berenang di laut maupun bergaul dalam perkampungan. Pernah terjadi tatkala berjalan-jalan di tepi pantai kaki Uhey tertusuk duri sehingga kakaknya Balralrogodo harus menggendong pulang ke rumah mereka.

Suatu saat datanglah pinangan keluarga seorang pemuda kepala suku masyarakat Bantik dari wilayah Mandolrang. Pinangan kawin untuk Uhey diterima keluarganya dan perkawinan segera akan dilangsungkan. Sementara itu tampak kelihatan tanda-tanda aneh bahkan perasaan yang menyimpang walaupun disembunyikan kakaknya Balralrogodo terhadap adiknya Uhey menjelang hari bahagianya itu. Karena usianya yang sudah pantas untuk berumahtangga, Balralrogodo sering ditawari ibunya untuk memilih dan mengawini salah satu gadis yang terdapat di perkampungan tersebut, tapi selalu ditolaknya. Lama-kelamaan bagai serangga menghisap nektar bunga, timbullah rasa cinta dan nafsu birahi yang membara dari Balralrogodo atas adiknya Uhey. Karena Uhey telah dipinang oleh pemuda lainnya, maka pergaulan dan keakraban kakak-beradik ini sebagaimana biasanya merenggang. Bahkan ada kalahnya Balralrogodo mengalami kesulitan untuk bercengkrama secara bebas dengan adiknya, terutama ketika orangtua bersama calon suaminya berada di rumah untuk mempersiapkan perkawinannya.

Suatu hari tatkala tak ada orang di rumah, Balralrogodo mempergunakan peluang ini untuk menemui Uhey di kamarnya. Balralrogodo berkata “Uhey, tak lama lagi kita akan berpisah sehingga kumohon agar kau memenuhi permintaanku yang terakhir”. Apa permintaanmu itu kak ? tanya Uhey. Kakaknya menjawab: permintaanku ialah ”bolekah engkau meminjaki rambutku ini, sebab tak lama lagi engkau akan menjadi milik orang lain”. Uhey bertanya lagi: bagaimana caranya ? “Kau minyaki rambutku diatas pahamu” demikian kata Balralrogodo. Uhey terperanjat dan curiga pada kakaknya, namun ia tidak kuasa pula untuk menolak permintaan kakaknya. Karena kepalanya diolesi minyak diatas paha Uhey, keadaan ini telah memicu hawa panas-dingin birahi Balralrogodo memuncak dimana akhirnya ia tidak dapat kuasai lagi,,...., dan menyetubui Uhey yang lagi tidak berdaya itu. Kesucian adiknya berhasil direngutnya. Setelah sadar dengan keadaan kritis dan perbuatan yang tidak sepantasnya mereka lakukan, Uhey melompat dan berpegang pada tiang raja (pahumpung) dalam rumah tersebut dan berseru : “Paka tanga-tangada’ kumu sumpung su huang Balrey !, kinabua te bo kaselrei-selrei ngkumu kalrimu kami; pangkelreanku su Mabu Makanayang bo su Makabalrang, dingan nu hangan-hangan gagudang, bo kidusu’ tumpan nao pakatanga-tangada, ka iya puyun toumata kahambata, bo tumpa nai hudanu su dunia, pangkelrean ku dumulru kumilra, dingan kami dua pahuntia su tanpa ne, mualri batu”. (Terjemahan bebas artinya: “Hai malaikat penjaga rumah ! Sungguh kamu telah melihat dan menyaksikan perbuatan kami berdua, olehnya kumohon dan pinta pada Dewata Raja Mahabesar dan Maha Kuasa serwa sekalian alam, dan para malaikat penjaga empat penjuru angin serta arwah leluhur. Datanglah semuanya !!!. Bahwa sanya kami keturunan dari orang Kayangan yang didatangkan di bumi. Datanglah anda semua, turunkanlah kilat, petir, dan halilintar. Pisakanlah kami berdua dan buatlah kami menjadi batu”). Seketika langit bagai dibelah, bumi bagai diobrak-abrik, halilintar dan petir sabung-menyabung, semuanya tak dapat dikendalikan lagi. Semburan api dan kilat petir menyambar tempat tinggal bersama kedua kakak beradik itu. Dimana tanah tempat kediaman mereka terbelah dan longsor (na pulrisi) diterjang badai serta merta mereka terhempas ke dalam laut pesisr.

Kedengaranlah tangisan kematian (Lrumolro) sekitar pesisir perkampungan Pulisan, tangisan yang berbarengan dengan menjelmanya Balralrogodo dan Uheytinenden menjadi ke-2 batu. Balralrogodo yang disebut orang sebagai “Batu Lelaki” yang sedang memegang sebuah Pahigi (pisau), dan Uhey menjelma menjadi sebuah batu yang disebut “Batu Perempuan” sambil berkerudung tutup kepala dengan Tohong (tolu). Menurut ceritra warga masyarakat Pulisan, perairan laut tempat kedudukan ke-2 batu tersebut akhir-akhir ini menjadi angker dan menyeramkan, bila pengunjungnya ribut-ribut atau melakukan keonaran. Sehingga berdasarkan kepercayaan mereka, perahu nelayan yang sedang berlayar bila melintasi tempat itu pantang gaduh, harus tenang, sebab ombak akan menggila dan datanglah pula malapetaka. Inilah ceritra tentang perempuan keramat (Kahambata) yang pintanya berdoa (Makiunabiti) dijawab oleh Dewata. Berikut ini dapat dibaca berupa syair tangisan Balralrogodo ketika tragedi besar itu terjadi, yang dalam adat masyarakat Bantik disebut “Lrumolro” (melantunkan kidung kematian). Balralrogodo: “Oh yu ku ka’asi kadiman Uheytinenden, ka ia bo napa kabua-buanu ken, adiei ia lrupa-lrupanen (artinya : Hai adikku sayang Uheytinenden, kerena keadaanku masih dapat kau pandang, maka sudilah kiranya engkau tidak melupakanku). Demikian pula tangisan Uhey: “Oh do ku kalroku Balralrogodo, ka ikau ia nualri te kagagioku inggie ” (artinya : kasihan saudaraku Balralrogodo, aku sudah jadi begini karena kau juallah sebabnya). Demikianlah tragedi kisah ini, terpatri secara turun-temurun dalam kehidupan masyarakat Bantik di negeri Pulisan. Dimana perkampungan para leluhur tersebut menyandang nama ”Pulisan” yang berasal dari peristiwa ”Tanah Na Pulrisi” (artinya dalam bahasa Bantik tanah terbelah dan longsor terhempas kedalam laut) karena diterjang badai topan sebagai akibat dari perbuatan asusila dari kedua kakak-beradik tersebut. (dikisahkan kembali oleh J. Koapaha)

Kisah Putri Lriukakoa dan Kepahlawanan Mangku dan Tongalri.

Terkenanglah akan ceritra leluhur masyarakat Bantik yang bermukim di wilayah Kerajaan Bolaang Mongondouw pada jaman dahulu. Pada suatu hari tersebutlah di sebuah desa di Bolaang-Mangondow sepasang suami-istri bersama ke-2 (dua) anak mereka tinggal di pinggir sebuah kali yang membelakangi sebuah bukit. Pada dasar bukit di seberang kali tersebut terdapat sebuah gua dan di depan gua tersebut tumbuh sebatang pohon besar yang pada cabang-cabang rindang. Pohon itu merupakan tempat bertedu para unggas namun pada saat tertentu pohon itu merupakan tempat bertengger kawanan Kakoa (burung gagak). Pada suatu malam tertentu, keluarga itu tidak bisa tidur tenang karena terganggu oleh kebisingan teriakkan suara koak,,koak,..koak sepasang burung gagak, yang berlangsung sepanjang malam sampai fajar menyingsing. Kejadian itu menyebabkan sepasang suami-istri itu ingin tahu apa gerangan yang terjadi di seberang kali tempat tinggal mereka. Pada ke-esokan harinya kelihatanlah di mulut gua itu sebuah benda berbentuk telur ukuran sangat besar bewarna putih, bahkan lebih besar dari ukuran buah mangga golek. Anehnya, sepasang gagak terus menunggui mulut gua itu disertai berbagai jenis burung seolah-olah ikut nimbrung dengan bunyi kicauan masing-masing. Mungkinkah telur burung itu dapat diambil ? demikian pikir kepala rumah tangga keluarga itu. Bersetujulah sepasang suami-istri memanjat dan mendatangi bukit gua itu dengan maksud mengamati dari dekat atas telur aneh tersebut. Namun sangat sulit mendekatinya karena tidak luput dari serangan/sambaran sepasang gagak tersebut. Setelah keduanya bersamadhi dan mengucapkan kata-kata dalam bahasa makatana, minta ijin pada roh tetua dan Empung, barulah sepasang burung gagak itu tiba-tiba meninggalkan/menghilang dari mulut gua tersebut. Akhirnya sang suami mengambil telur besar itu dan dibawah ke rumah mereka serta diletakkan pada sebuah piring besar (balrukuan) beralas kain tebal dan ditutup dengan kain putih bersih serta ditempatkan diatas loteng rumah. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, maka menetaslah telur itu dan keluarlah seorang bayi cantik jelita (yang kemudian diberi nama Lriukakoa karena artinya: menetas dari telur burung gagak). Bahkan pertumbuhan bayi itu sangat tidak masuk akal, sebab baru dalam beberapa minggu saja, ia sudah dapat berbicara dengan lancar. Bahkan berita kehadiran bayi aneh ini telah sampai ke telinga Damopolri, Raja Bolaang Mongondouw. Raja beserta permasyurinya kemudian mendatangi rumah sepasang suami-istri tersebut, bahkan permasyuri meminta sekiranya bayi tersebut akan dibawahnya keistana kerajaan Bolaang Mongondouw untuk dirawatnya dan dijadikan sebagai putri mereka.

Suatu ketika, Lriukakoa meminta benang dan jarum untuk merajut pakaiannya sendiri. Ia tidur di “Babokian” loteng istanah (Timbou Buntalro) kerajaan Bolaang Mongondouw. Maka tersiarlah berita tentang kecantikan putri Lriukakoa ke seluruh penjuru kerajaan Bolaang Mongondouw bahkan sampai ketelinga pangeran Datunsolang yang adalah putra kerajaan Kaidipang. Yang memiliki seorang panglima perang yang terkenal kesaktianya, bernama Dapomilrasa. Banyak pemuda tampan dan pangeran yang mendatangi istana Buntalro tersebut untuk berkenalan dengan putri Lriukakoa, termasuk diantaranya pangeran Datunsolang. Pangeran ini sangat berkeinginan untuk meminang dan memperistri putri Lriukakoa, tetapi dengan halus tidak diterimanya. Karena cintahnya ditolak, pangeran Datunsolang mengalami patah hati dan bahkan jatuh sakit dan tidak mau makan. Raja kerajaan Kaidipang melihat kondisi putranya yang sudah tidak bergairah itu sangat sedih dan berusaha membujuk putranya untuk mengambil saja diantara gadis-gadis cantik yang terdapat dalam kerajaannya, tetapi tetap saja ditolaknya. Rupanya ia hanya menghendaki putri Lriukakoa untuk menjadi teman hidupnya. Akhirnya Raja meminta panglima perangnya Dapomilrasa untuk menculik putri kerajaan Bolaang Mongondouw, Lriukakoa. Berbagai rencana dipersiapkan untuk menemui Si Putri Telur Burung Gagak, dan usaha Dapomilrasa berhasil. Yang kemudian menculiknya dan dibawanya ke istana Kerajaan Kaidipang untuk diserahkan pada pangeran Datunsolang. Gemparlah seluruh kerajaan Bolaang Mongondouw dengan peristiwa penculikan itu. Raja Damopolri sangat murka dan kepedihan hati serta kekuatiran melanda permasyuri kerajaan Bolaang-Mangondow. Raja lalu mengeluarkan maklumat untuk berperang dengan Kaidipang dalam usaha mendapatkan kembali putri Lriukakoa. Isi maklumat antara lain: barang siapa yang dapat merebut Lriukakoa dari tangan Dapomilrasa akan diberi hadiah dan kedudukan yang tinggi. Bahkan kalau yang bersangkutan masih berstatus bujang dan berhasil membebaskan serta mengembalikan putri dalam keadaan selamat, maka akan dikawinkan dengan putri. Banyaklah para jagoan muda menawarkan diri dan pergi berperang bersama pasukan Kerajaan Bolmong namun kembali dengan kekalahan dan kegagalan.

Disalah satu perkampungan wilayah kekuasaan kerajaan Bolmong, tinggallah seorang lelaki paro baya yang profesinya sebagai Mabansalra (tukang tangkap ayam hutan) bernama Nguha. Perkampungan itu bernama Pontaka (Pontak) dan dihuni oleh salah satu kelompok leluhur masyarakat Bantik yang sebelumnya mendiami pegunungan Bulrudumahatusu (Wulurmahatus). Ketika pasukan kerjaan Bolmong dikalahkan oleh pasukan kerajaan Kaidipang, Dapomilrasa sedang melintasi hutan belantara mengejar sisa-sisa pasukan yang telah kocar-kacir melarikan diri. Saat itu Nguha sedang Mabansalra dalam hutan tersebut, menyaksikan bagaimana Dapomilrasa sedang mengejar orang-orang pelarian dari pasukan Bolmong itu. Karena ingin membantu orang sekampungnya yang lagi lari ketakutan terbirit-birit, Nguha mencabut pedang kecilnya yang terselib di badannya dan dengan loncatan dan tebasan kilat menghadang Dapomilrasa. Dengan sekecap mata Bilrada (salendang tutup kemaluan Dapomilrasa) berhasil dikerat putus sebagiannya dan kemudian sipenyerang menghilang secara gaib ke dalam hutan. Dapomilrasa berhenti mengejar karena sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang memiliki kesaktian hebat, karena sekali sergapan saja bagian tutup kemaluannya telah dikeratnya tanpa ia dapat berbuat apa-apa. Dengan potongan Bilrada ditangan, Nguha kembali ketempat pemukimannya di Pontak dan kejadian bentroknya dengan Dapomilrasa diceritrakannya pada warga sekampungnya. Karena kekalahan perang tersebut Raja Damopolri dan permasyuri makin bersedih hati memikirkan nasib putri mereka yang tidak diketahui bagaimana keadaannya. Serta terus mencahari dan menyeleksi orang-orang yang dapat mengalahkan Dapomilrasa dan membebaskan putri Lriukakoa.

Orang-orang di perkampungan Pontak mendesak Nguha untuk pergi menghadap Raja Damopolri karena dengan pengalamannya yang begitu mudah menyergap dan mengerat Bilrada dari Dapomilrasa ketika saat Mabansalra di hutan. Bersama potongan Bilrada di tangan, Nguha memberanikan diri menghadap Raja Damopolri. Ketika menghadap raja, Nguha berkata bahwa untuk mengalahkan panglima perang kerajaan Kaidipang tidak sukar sambil ia menceritrakan pengalamannya ketika bentrok dengan Dapomilrasa dan dengan sekali gebrak saja telah berhasil mengerat kain penutup kemaluannya. Yang langsung diperlihatkannya pada Raja Damopolri. Raja menjadari bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang berilmu tinggi, sehingga raja bertanya tentang asal-usulnya dan ada berapa orang-orang sekampungnya yang memiliki kesaktian seperti Nguha. Nguha menjawab bahwa sebetulnya dia sendiri belum terhitung apa-apa di kampungnya bila dibanding dengan yang lain terutama ke-2 pemuda sakti kakak-beradik bernama Mangku dan Tongalri. Akhir percakapan, Raja meminta Nguha untuk menghadapkan ke-2 pemuda sakti tersebut.

Singkat ceritra, Mangku dan Tongalri selanjutnya mendapat tugas dari Raja Damopolri untuk pergi menyerang Kerajaan Kaidipang, membebaskan putri Lriukakoa yang diculik oleh panglima perangnya yang hebat Dapomilrasa. Setelah para pemangku jabatan adat (Lrelrean, Talrenga, dan Mogandi) masyarakat Pondaigi (cikal bakal suku Bantik) di Pontak melangsungkan upacara adat untuk meminta petunjuk pada Empung/Roh para leluhur dan mendengar bunyi suara burung Bantik ”Manguni” tentang misi Mangku dan Tongalri untuk berperang dengan pasukan kerajaan Kaidipang, diperoleh jawaban bahwa misi tersebut akan berhasil dimana Dapomilrasa akan dapat dikalahkan dan putri Lriukakoa akan direbut dan dikembalikan dalam keadaan selamat. Namun ada satu syarat paling penting yang harus terlebih dahulu dilakukan, yaitu Nguha harus berhasil mencuri buah pinang berwarna merah yang pohonnya tumbuh besar di depan istana kerajaan Kaidipang. Perang tanding ketiga tak dapat dihindarkan lagi. Alangkah serunya, bumi bergetar dengan lengkingan senjata pendekar-pendekar itu dengan pasukan raksasa Dapomilrasa. Namun mereka berhasil dikalahkan dan ditumpas oleh ke-2 kakak-beradik tersebut. Putri Lriukakoa ditemukan dengan selamat dalam gua persembunyian Dapomilrasa. Terjangan pedang Tongalri yang tajam terbang melayang menghabisi riwayat Dapomilrasa yang kepalanya besar seperti tempayang terpisah dari badannya. Tongalri dan Mangku masuk ke gua dan menemukan sebuah tambur besar. Setelah tambur itu dibelah, keluarlah Lriukakoa dari dalamnya. Lriukakoa dibawah untuk sementara diistirahatkan (dipelihara) di kuala Boki atau kuala putri di negeri Bahu sekitar Malalayang. Setelah itu Lriukakoa dibawah dan dipersembahkan pada Raja. Tonggalri diberi hadiah dan predikat adat sebagai Tando Hompong, yakni duduk bersama dengan keluarga Kerajaan dan Mangku diangkat sebagai Tando Tengede Mangkubumi (Pengawal Perdana Menteri). Atas jasa Mangku dan Tongalri serta karna Raja sayang pada orang Bantik di Pontak, mereka diberi kebebasan memiliki tanah-tanah perkebunan yang disukainya. Sebagian besar leluhur masyarakat Bantik di Pontak meninggalkan pemukiman mereka tersebut secara berkelompok-kelompok, ada yang pindah kearah Selatan untuk kemudian membangun suatu perkampungan baru yang juga diberi nama Pontak (sampai sekarang masih eksis di Kecamatan Buroko). Ada yang datang tumani di wilayah Kecamatan Bolaang (sekarang) dan membangun suatu pemukiman baru yang diberi nama Somoiti (sekarang kampung Bantik Somoit dan Tanamon). Dan kelompok yang lain berpindah ke berbagai tempat pemukiman baru di tanah Malesung dan sekitarnya. Satu kelompok diketahui datang kearah Utara Sulawesi dan mendarat di Lraintoka (sekarang Tokambene), serta ketemu dengan kelompok sesama orang Bantik Mandolrang dan sekitarnya. (dikisahkan kembali oleh J. Koapaha)

Kisah Tentang Matansing

Pada waktu sekelompok leluhur masyarakat Bantik asal Selatan tumani dan bermukim di suatu tempat yang bernama Kaho (selokan Tirang) antara Maumbi dan Kairagi, mereka kemudian pindah ke Pogidon Wenang) dan selanjutnya bergerak kearah Utara, dan tumani di Singkil, Bailang, Buha, dan Bengkol. Dalam kelompok ini, terdapat sepasang suami-istri tanpa memiliki keturunan yang pekerjaannya sehari-hari sebagai Balrian Lramo (Walian besar=tukang mengobati secara tradisional). Suami bernama Tolrombiga dan istrinya bernama Hagi. Keduanya sangat terkenal sebagai ahli pengobatan tradisonal (makatana) apalagi sebagai Biang (bidan yang menunggui dan mengurus kelahiran seorang bayi) yang terkenal di kalangan masyarakat Bantik. Bila ada orang yang datang memanggil Hagi untuk menolong orang melahirkan maka Hagi selalu berkata pada sipemanggil itu: kembalilah lebih dulu dan nanti disusulnya. Tapi anehnya, Biang Hagi akan selalu tiba lebih dulu sebelum sipemanggil tiba dirumah orang yang akan melahirkan itu. Rupanya suami-istri ini mempunyai banyak sahabat sosok halus sebagai penolong dalam menjalankan tugas mereka sebagai Balrian Lramo.

Pada suatu hari, Hagi kelihatan hamil dan datanglah sosok halus kepada Tolrombiga dan meminta agar, bila anaknya lahir agar anak itu diberikan kepada sosok halus tadi untuk dipeliharanya, sang suami tidak keberatan. Setelah genap usia kandungan Hagi, lahirlah laki-laki yang hanya tangisnya saja yang kedengaran tapi bayinya sudah tidak ada lagi, dan mengertilah sang suami bahwa anaknya sudah dijemput sosok halus tadi. Akan hal Hagi bila ada orang bertanya mana anaknya maka Hagi menjawab bahwa ia mengalami keguguran (kinadaen) dan bayinya hilang. Konon bayi itu dipelihara sosok halus dengan diberi makan jantung pisang tanduk (sejenis pisang yang buahnya besar-besar, berbentuk tanduk kerbau) oleh sebab itu jika melihat jantung pisang tersebut, keadaan seperti dicakar-cakar kuku, kata orang karena dicakar sosok halus tadi bila membuat makanan bayi tadi. Konon kebiasaan orang Bantik bila ingin melihat makhluk halus, carilah pohon pisang tanduk yang jantungnya hampir keluar dan tunggulah dibawah pohon itu. Bila sosok halus datang mengambil makananya, niscaya akan bertemu dengan sosok halus, asal berani untuk bertemu menemuinya, apalagi berada dibawah pohon itu dan kedengaranlah tangisan bayi maka pasti akan bertemu dengan sosok halus. Disitulah anda boleh berdialog dengan sosok halus dan boleh memohon atau meminta sesuatu. Sudah tentu sosok halus itu akan mencobai anda lebih dulu setelah anda tahan uji atas cobaan itu barulah pinta anda akan terkabul.

Demikianlah anak itu dipelihara oleh sosok halus sampai menginjak masa remaja umur 18 tahun, lalu dikembalikan kepada ibu-bapanya di Buha dan diberi nama Matansing berasal dari kata Tumansing meloncat tinggi/seperti terbang). Selanjutnya dalam umur 20 tahun, Matansing turut mengambil bagian dalam perang Banten.

Ceritra rakyat tentang Matansing berlangsung pada tahun 1770-an, dimana masyarakat Bantik yang mendiami kawasan Benang (Wenang) dipimpin oleh Kepala Walak Abuthan. Kisah ini terjadi pada jaman kolonialisme Belanda menguasai tanah Minahasa dan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Tatkala kepala balak Bantik Abuthan sedang memimpin kelompok masyarakat Bantik di Wenang, tersiarlah berita bagaimana orang-orang Banten di pulau Jawa mengangkat senjata melawan Kompeni Belanda.Huru-hara pemberontakan rakyat Banten sangat menggegerkan Batavia yang waktu itu dipimpin oleh Gubernur-Jenderal Riemsdyk. Secara masal rakyat Banten mengangkat senjata dan lakukan serangan atas pos-pos tentara kolonialisme di Batavia. Pemerintahan Riemsdyk terganggu karena tentara Belanda jumlahnya sangat kurang dan tidak dapat mengimbangi perjuangan rakyat Banten. Maka pemerintah Belanda di Batavia menyurat pada koleganya di Ternate dan Minahasa untuk meminta bantuan dari warga masyarakat yang ada di sana. Dijejakilah bantuan dari Ternate dimana di sana juga terdapat sebagian tentara Belanda dan warga setempat dimana mereka diminta datang berkumpul di Pogidon (Wenang) untuk kemudian berangkat bersama ke Pulau Jawa dengan armada laut. Di Minahasa bantuan terutama dikerahkan dari orang-orang Bantik yang berdomisili di Tomohon dan Tondano. Yang di Tondano dipimpin oleh Tonaas Sigaha (Sigar) dan di Tomohon dipimpin oleh Tonaas Dotulong. Kepala balak Abuthan selaku pemimpin masyarakat Bantik di wilayah Wenang, segera meresponi permintaan kolonial Belanda di Wenang dengan melakukan plakat di beberapa negeri orang Bantik yang terdapat di: Titiwungen, Singkil, Bailang, Buha, Bengkol, Talawaan Bantik, Molas, Meras, Malalayang, dan Bahu. Mereka bersedia dan menyatakan kerelaan untuk mengambil bagian dalam perang Banten tersebut, yang sebetulnya merupakan siasat kaum penjajah untuk mengadu-domba masyarakat pribumi.

Tersebutlah seorang laki-laki bernama Matansing dari negeri Buha datang menghadap kepala balak Abuthan. Setelah Abuthan bertanya perihal kesanggupan dan kebolehannya, maka Matansing menjawab: Ia Po ada tumondo Mabukuan galrete be mabei, age nu pai pinakou” (artinya: kalau saya pergi ke medan laga, selalu kembali dengan kemenangan dan membawa bukti atas kemenangan itu). Dengan demikian Matansing salah seorang pendekar Bantik yang akan berangkat ke pulau Jawa untuk turut berperang membantu Belanda dan bantuan dari Ternate, Minahasa dan Bantik telah musta’id semuanya berkumpul di Wenang dan jumlahnya 3000 (tiga ribu) orang pimpinan bala bantuan itu ialah Tonaas Sigar dan Dotulong yang terkenal sangat pemberani. Pengaturan persiapan selesai dan pasuka dipersilahkan naik ke kapal untuk berangkat. Selesai diadakan apel maka berlayarlah kapal-kapal itu dengan haluan pertama pulau Manado Tua, tiga hari dalam pelayaran dan pada hari keempat, anehnya..... kapal-kapal itu kembali berlabuh di pelabuhan Wenang. Setiba di pelabuhan Wenang kepada pasukan ditanyakan oleh nahkoda kapal, siapakah di antaranya melupakan sesuatu di rumahnya. Masing-masing segera berdiri dan mengacungkan tangan sambil mengatakan bahwa sayalah yang melupakan sesuatu itu. Setelah ia melapor untuk pergi sebentar kerumah, waktu itu masih keadaan pagi jam anak-anak pergi sekolah. Gaiblah ia, hilang dari pandangan mata mereka. Patut diakui oleh orang-orang Bantik karena peninggalan riwayat pedangnya pun masih ada di negeri Bengkol pada cucu, cece, cicit, buyutnya pusaka kesaktian membuktikan ini. Beberapa lama antaranya pada jam makan siang hampir tengah hari tiba-tiba bergetarlah kapal yang tadi-tadinya ditumpangi Matansing yang berada di atas kapal, ditangannya terpegang sebuah bungkusan Kumunou (daun woka) dan sebuah Lrimpudong (sosiru) lalu melaporkan pada nahkoda kapal siap sudah ada di tempat, bertanya Kapten Nahkoda Kapal. Apakah yang kau bawa itu? Jawabnya ini ada tempat makan pinang. Yang terbungkus daun woka itu, perangkat empat sirih pinang sebagai biasanya yang dipakai oleh orang Bantik bila akan makan sirih. Keberadaan kembali Matansing di atas kapal, berarti saat keberangkatan sudah tiba. Maka berangkatlah armada Belanda dan bala bantuan itu.

Angin kencang dari belakang menyebabkan layar kapal-kapal itu berkembang dengan megah. Semalam-malaman, siang dan paginya mereka berlayar dan tiba di pelabuhan Donggala pagi hari. Kapal-kapal berlabuh untuk mengambil air minum (air tawar) di darat. Setelah diketahui oleh Matansing bahwa maksud kapal-kapal itu singgah di pelabuhan Donggala hanya karena untuk mengambil air tawar, maka turunlah Matansing melalui tangga kapal dengan membawa nyiru yang dibawanya dari rumah tadi. Dikoyakkannya bagian dalam nyiru itu dan dicelupkannya bagian kaki dalam nyiru ajaib itu yang tinggal lingkaran rotan bagian luarnya saja. Maka terjadilah keanehan di pelabuhan Donggala! Air laut dalam lingkaran rotan itu menjadi air tawar. Ramailah seluruh petugas kapal menimba air tawar untuk mengisi tong pada kapal masing-masing, sesuai kebutuhan dari lingkaran rotan ajaib itu. Pelayaran dilanjutkan beberapa lama, dalam pelayaran masuklah mereka di pelabuhan Serang (Banten) dengan selamat dan berkat.

Pada saat itu pelabuhan Banten bergelora sangat hebatnya sehingga pendaratan dilakukan dengan menggunakan sekoci-sekoci pendarat. Oleh karena di darat telah berjaga-jaga pasukan Banten, maka perang besar tak terelakan lagi. Serta merta perang besar terus berkecamuk dan berkobar sangat hebatnya. Bunyi tembakan, tetakan pedang, baku potong dan baku bunuh sudah tak terkendalikan lagi. Bagian perang yang dahsyat berlangsung antara tahun 1775-1780. Bagaimana dengan Matansing, ia ketinggalan dan masih berada di atas kapal, ia menjadi gelisah, hilir mudik di atas kapal.

Ia segera mengambil keputusan dengan berdiri siap masuk ke mulut meriam kapal. Tatkala meriam berdantum dengan arah tembakan kedarat......... gaiblah pula ia pada saat genting itu. Alkisah menurut cerita ia melayang bersama peluru meriam tadi, terbang dan jatuh di atas mahligani istana tempat bersemayam Raja Banten, sesampai di istana Matansing menjumpai pengawal Raja Banten yaitu tujuh orang laki-laki bermuka sangat menyeramkan mempunyai anting atau bertopeng seperti babi hutan besar, jadi Matansing harus berhadapan lebih dulu dengan para pengawal itu sebelum tiba pada Raja. Pada saat itu melayanglah Matansing ke atas pohon aren dan duduk di atas pelepahnya hingga bergegerlah bumi karena tumbangnya pohon itu. Semuanya lalu menjadi gempar. Dari situ ia melayang ke pohon padi lalu duduk diatas butir buahnya berayun-ayun bersama tiupan angin. Selesai berayun di atas pohon padi itu sambil menyenangkan hatinya, melompatlah ia langsung berhadapan dengan ketujuh pendekar itu dan terjadilah perang satu lawan tujuh dengan seru dan seramnya. Matansing bertarung sambil melayang kian kemari di udara. Konon, pada akhirnya tewaslah ketujuh pengawal Raja tadi, terpisah kepala mereka dari badannya masing-masing.
Matansing segera menuju kepada Raja Banten didapatinya Raja sedang tidur nyenyak di tempat peraduannya. Tatkala Raja membuka mata, alangkah terkejutnya Raja dengan segera Matansing mencabut pedangnya dan tombak diayunkan sekali tepat kena leher Raja. Maka tewaslah Raja pada saat itu juga. Sebagai bukti kemenangan oleh Matansing kumis dan janggutnya serta kuku Raja, dikeratnya dan diambilnya untuk dibawah pulang. Selesai mengambil barang bukti itu, Matansing gaiblah dari kamar peraduan sang Raja itu. Tiba diluarnya dilihatnya ternyata perang telah berakhir.

Laskar Banten kalah dan Belanda menang. Pendekar Sigar diberi pangkat Mayor dan pendekar Dotulong diberi pangkat Letnan-Kolonel lengkap dengan senjata dan pakaian kebesaran. Mereka yang masih hidup kembali ke Wenang setelah menjalankan tugas membantu Belanda berperang dengan Banten. Sebagaimana kita pelajari dari sejarah, bahwa perang Banten itu di kobarkan oleh KYAI TAPA dan Ratu Bagus Buang dan diteruskan oleh Sultan Abdul Nazar, Muhammad Arif, Zainul Asyikin tahun 1752-1780 Adapun cerita Ambon bahwa yang turut berperang dan mengalahkan Raja Banten adalah Kapitan Jongker yang namanya termasyur itu.

Kembali tentang Matansing sesampainya di Wenang ia langsung menghadap Kepala Balak Abuthan dan melaporkan kemenangannya sambil membawa bukti berupa janggut, kumis, serta kuku Raja yang dikalahnya sebagaimana yang telah diceritakan tadi. Percayalah Abuthan atas kebolehan Matansing, ia dibawa oleh Abuthan menghadap Residen TANROLF. Oleh Residen Tanrolf, Matansing diberi hadiah dan piagam ditulis atas kertas kulit yang berbunyi: selama penjajahan Belanda di Minahasa, maka anak-cucu dari keturunannya bebas dari pungutan uang sekolah kalau mereka bersekolah.

Kemudian Matansing kembali sebagai petani dan berkebun di antara negeri Singkil dan Buha (disuatu tempat yang disebut kelapa lima). Sekali peristiwa datanglah seorang putra Raja Sulawesi Selatan, Bugis bernama anak Raja HASSANUDDIN menumpang kora-kora bersama anak buahnya. Ia datang memamerkan ketangkasan, kesaktian dan keajaibannya dan ingin mencari lawan, siapa kalangan di Utara Sulawesi ini yang sanggup menandinginya. Untuk menguji kesaktiannya diwujudkan dalam mengadu ayam sabungan. Maka kedatanganlah berita kedatangan tamu-tamu ini kepada Matansing yang segera ingin dengan mengadu ayam sabungan lebih dahulu. Ayam sabungan anak Raja Bugis berbulu hitam berkaki hitam sedangkan ayam jago milik Matansing berbulu putih sampai kakinya. Persabungan yang seru dimulai dan semua orang Bantik datang menonton.

Begitu serangan kedua ayam sabungan itu bersiaga dan akhirnya…….. menanglah ayam sabungan milik Matansing. Putra Raja dari Sulawesi Selatan berseru: “Ayam sabungannya yang kalah belum tentu orangnya kalah” Matansing naik dan keduanya menyiapkan diri untuk bertarung, duel maut satu lawan satu keduanya bermufakat dan tempat yang akan dijadikan arena laga ialah lembah diantara gunung Bantik dan gunung Tumpa (Tumumpa). Karena keduanya sama saktinya maka duel maut itu banyak berlangsung di udara. Sama hebat, sama cerdik, dan sama jago. Alkisah maka terbanglah Matansing awan gunung Bantik dan putra Raja Bugis terbang pula dari gunung Tumpa, lalu sesaat kemudian duel udara yang serupun berlangsung. Pertarungan babak pertama selelsai karena mereka beristirahat. Kemudian dilanjutkan dengan pergantian tempat. Duel maut babakan kedua dimulai, Matansing melayang terbang melalui gunung Tumpa dan lawannya sebagai anak panah lepas dari busurnya melayang dari gunung Bantik, Matansing yang melihat musuhnya sangat sukar dikalahkan itu, setiba bertukaran tempat di Tumpa, lalu mengambil tali hutan (”bahahing”) untuk dibuat jerat. Tali buatan itu dilemparkan Matansing ke arah musuhnya dan terjeratlah di leher putra Raja itu sekaligus tergantunglah di udara, maka Matansing mengambil parangnya dan memancung leher musuhnya.

Badannya jatuh ke Bumi, disusul dengan kepalanya yang masih terikat dengan tali hutan tadi. Melihat musuhnya telah kalah, Matansing mengambil mayat musuhnya lalu diterbangkan ke kebunnya di kelapa lima. Disana mayat itu dikuburkan Matansing lalu ditandai dengan ditanamkannya di tempat itu lima pohon kelapa, sehingga tempat itu biasa disebut ”kelapa lima”.

Hingga muat riwayat ini ditulis, diantaranya negeri Singkil dan Buha terdapat kelapa Matansing (tempat tersebut disebut kelapa lima) kelapanya memang sudah tidak ada lagi, tetapi tanah dan bekasnya masih ada. Tahun demi tahun berlalu sampai Matansing telah berusia tua, ia mulai jatuh sakit di negeri Buha, tetapi bila ada orang datang menjenguknya, kadangnya tidak diketemukan hanya tempat tidurnya saja. Lama-kelamaan, pada saat mautnya tiba, hilanglah ia entah kemana tak diketahui rimbanya. Ia pergi dan tak seorangpun mengetahuinya. Kata orang, ia kembali ke Kayangan sebagaimana cerita kita pada bagian-bagian lain, seperti kisah negeri Balruda itu. Pedang dan tombak milik Matansing, masih ada di negeri Bantik. Demikianlah riwayat Matansing yang menurut tutur orang ia menjelma menjadi dewa, sedang tutur orang lain ia menjelma menjadi jin atau makhluk halus. Untuk lebih melengkapi riwayat tentang Matansing alangkah baiknya kalau diutarakan pula disini sedikit tentang asal-usul dan siapakah Matansing yang mengemarakan sejarah anak suku Bantik. (dikisahkan kembali oleh J. Koapaha, edited Jeldy Tontey)

Kisah Utahagi dan Kasimbaha

Orang Bantik, Asal... dan Legenda (N. Graafland, 1869)
Malalayang (Minanga), merupakan suatu negeri Bantik dengan tata-rumah yang bersifat alifuru, bersifat penyembah berhala, kacau, buas dan kasar. Tetapi memang anda sudah tahu, bahwa orang Bantik paling sulit dikendalikan dari seluruh rakyat di Minahasa, dan mereka masih saja mengikuti berbagai kebiasaan para leluhur mereka dari abad-abad yang gelap, yang bagi daerah Minahasa lainnya telah hilang. Bahwa mereka tidak mudah untuk dipimpin mengikuti susila lain, masih secara jelas dapat dilihat pada raut muka mereka.

Pada seluruh penduduk Minahasa sebenarnya telah sejak lama menghilangkan kebiasaan memelihara rambut panjang bagi kaum pria; hanya kaum lelaki orang Bantik masih saja memeliharanya, dan begitulah mereka mengenakan pakaian yang luar biasa dan selalu dipersenjatai lengkap seakan mereka masih hendak memancung kepala orang. Dan mengenai halnya perkelahian seperti yang mereka lakukan di Minahasa menurut kesaksian beberapa orang, mereka itu tergolong yang paling berani. Bentuk tubuh mereka sudah menunjukkan demikian; mereka biasanya bertubuh lebih kekar, lebih besar, dan pada wajah mereka terdapat sesuatu yang berifat nakal, tidak terdapat pada seluruh penduduk Minahasa, kecuali mugkin pada orang Tondano. Saya kira, apabila rakyat itu sekali kelak telah menganut agama Kristen serta mengenal peradaban, maka di banyak segi terutama dari segi energi, kemauan, mereka akan menonjol.

Asal-usul sebenarnya orang Bantik itu tidak jelas, sama seperti orang-orang Minahasa lainnya. Mereka itu juga mempunyai berbagai legenda dalam hal ini, yang memperkenalkan mereka sebagai bukan satu dengan penduduk lainnya, dan dipihak lain cukup memberikan gambaran bahwa mereka sudah lama berada disini, untuk dalam hal agama dan penyembahan dewa-dewa nyata-nyata dapat memiliki suatu dasar yang sama. Pengertian agamawi orang Bantik berdasarkan cerita penyampaian dari dulu yang kacau, mereka menafsirkan suara dari burung yang sama seperti orang Alifuru; mereka memanggil empung-empung yang sama walau adakalanya dengan nama lain yang berbeda-beda, yang juga terjadi pada orang Alifuru dari berbagai distrik di Minahasa.

Saya mengambil kebebasan untuk mengutip salah satu legenda dari Van Spreeuwenberg sebagai berikut :
Utahagi dan Kasimbaha

Utahagi, seorang puteri dari Lumimuut dan Toar, datang bersama enam dayang-dayang yang cantik, yang adalah kakak-kakaknya ke negeri Mandolang dekat negeri Tateli, dan mereka turun dari kayangan untuk mandi di sumur yang terdapat di tempat itu, airnya bening sekali dan jernih.

Ketika itu di negeri Mandolang, tinggal seorang bernama Kasimbaha, yang lahir dari orang bernama Mainalo dan Linkanbene, yang mana yang pertama itu adalah putera dari Lumimuut dan Toar. Ketika Kasimbaha melihat dayang-dayang itu di udara, ia menganggapnya sebagai burung-burung dara putih, tetapi selanjutnya melihat dengan rasa kagum sekali ketika mereka datang pada sumur itu, dan melepaskan pakaian mereka, bahwa mereka adalah wanita.

Sementara mereka sedang mandi-mandi, maka Kasimbaha mengambil sebuah sumpitan, menyembunyikan diri sedekat mungkin pada sumur itu di dalam hutan, dan dengan sesumpitan itu menghisap selembar pakaian orang dari kayangan itu untuk diperolehnya, pakaian yang memiliki kekuatan dari mereka yang mengenakannya, sehingga mereka dapat terbang. Ketika selesai mandi, masing-masing dayang itu mengenakan pakaian mereka lagi, lalu terbang melayang-layang lagi ke kayangan, tetapi salah satu dari mereka tak dapat menemukan pakaiannya, terpaksa harus tertinggal.

Dan ia adalah Utahagi, yang telah diberi nama sesuai seutas rambut putih, yang tepat bertumbuh di pusaran kepalanya, dan yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Kasimbaha membawanya ke rumahnya, dan menjadikan isterinya. Dari perkawinan itu lahirlah seorang putera bernama Tambaga, yang kemudian kawin dengan Matinipu. Selang beberapa waktu, maka Utahagi menceritakan kepada suaminya mengenai rahasia rambut putih itu yang berada di pusaran kepalanya, bahwa ia memerintahkan suaminya untuk sangat berhati-hati dengan rambut putih itu, sebab jika rambut putih itu lantaran suatu peristiwa terhilang, maka akan terjadi malapetaka menimpa suaminya itu.

Apakah ia tidak percaya akan kata-kata itu, atau apakah ia didorong oleh sesuatu hal, orang tidak mengetahuinya, tetapi pastilah bahwa pada saat ia mencabut rambut dimaksud itu, terjadilah suatu angin ribut yang diselingi guntur serta halilintar, dan ketika cuaca buruk itu telah berlalu, maka Utahagi telah menghilang, telah melayang kembali ke kayangan di atas sana, meninggalkan suami dan puteranya.

Tambaga, lantaran anak ini sekarang kehilangan susu ibunya, maka anak itu menangis terus-menerus, sungguh menyayat perasaan ayahnya itu, dan ketika ia sadar bahwa lambat-laun ia tak dapat memelihara puteranya itu, maka ia memikirkan bermacam-macam jalan untuk juga datang di kayangan. Ia hendak melakukannya dengan memanjat rotan yang menjulang tinggi sampai kayangan, tetapi rotan ini penuh duri. Ketika ia berdiri disana dan memikirkan bagaimana melakukannya, maka datanglah seekor tikus hutan kepadanya, lalu tikus itu mengunggis semua duri rotan itu sehingga ia dapat memanjatnya.

Maka Kasimbaha, beserta puteranya di punggung, memulai perjalanan panjat itu, tetapi ketika mereka sudah berada jauh disana dan seakan mereka berada di antara langit dan bumi melayang-layang, terjadilah suatu angin ribut dari barat, yang membawa mereka kearah matahari, tetapi oleh karena disana panas sekali maka mereka menunggu timbulnya bulan, yang membawa mereka ke kayangan.

Seekor burung kecil menunjukkan kepadanya rumah Utahagi, ia lalu memasukinya, tetapi sudah malam, ia tak dapat melihat semuanya. Seekor kunang-kunang datang kepadanya dan berkata :”saya lihat jika saya tidak membantu anda, maka anda takkan mendapatkan tempat tinggal Utahagi, sebab dirumah ini ada tujuh kamar yang sama semuanya, dihuni oleh tujuh perempuan bersaudara. Tetapi perhatikanlah pintu yang saya akan hinggapi, itulah kamar isterimu.

Setelah mendengar nasihat itu maka segera ia memasuki kamar isterinya dan menyerahkan putera mereka Tambaga kepadanya. Dari isterinya itu ia harus mendengar banyak cacian lantaran semua yang tidak menyenangkan itu dipersalahkan kepadanya.

Kakak lelaki Utahagi, yang juga salah satu Empung, dewa, berkata kepada orang-orang kayangan lainnya; “Bagaimana hal ini sekarang, oleh karena suami adik saya bukanlah Empung, maka ia tidak boleh tinggal disini, maka kami hendak mengujinya dengan memberikan sembilan piring yang ditutupi dihadapannya. Delapan dari piring itu kita berikan nasi dan yang satu lagi diisi dengan bahan lain; jika ia membuka piring terakhir ini maka ia adalah manusia biasa dan bukan Empung”.

Tetapi disinipun seekor lalat membantunya dan memperingatkan untuk memperhatikan jalannya. Lantaran akibatnya ia tidak menyentuh piring kotor itu, maka untuk itu mereka menanggapnya bahwa ia bukanlah seorang manusia, ia diakui sebagai Empung dan tinggal terus di kayangan bersama isterinya. Namun dikemudian hari, ia menyuruh puteranya, Tambaga, turun ke bumi melalui suatu rantai yang panjang, kembali ke Mandolang, tempat kelahirannya.

Tambaga kemudian kawin, memperoleh anak serta cucu-cucu, dan kedua anak itu, Majo dan Birang, orang Bantik menyebutnya sebagai leluhur mereka. Dengan cara begitulah mereka membuat silsilah mereka itu, sehingga mereka itu sebenarnya adalah keturunan dewa-dewa, sama seperti orang Minahasa lainnya.

Sumber Bacaan :
De Minahasa : haar verieden en haar tegenwoordige toestand (Eene bijdrage de Land-en Volkenkunde) Door N. Graafland Roterdam, M. Wyt & Zomen, 1869; Terjemahan : Yoost Kullit, 1987

Dikutip dari : Jeldy Tontey

Berdirinya Negeri MINANGA dan POGIDON di Sulawesi Utara

Komunitas Bantik di Sulawesi Utara saat ini mendiami kampung-kampung yang tersebar di sebelas lokasi sebagai berikut : Mahasa (Maras), Molrasa (Molas), Bailrang, (Bailang), Talrabang (Talawaan Bantik), Bengkolro (Bengkol), Buha, Sikilri (Singkil), Minanga (Malalayang), Kalrasei (Kalasei), Tanamon (di Minahasa Selatan), dan Sumoiti (Sumoit) di Bolaang Mongondow.

Sebelum kedatangan bangsa Portugis ± tahun 1570, anak suku Bantik tinggal berpencar di tujuh lokasi berbeda yaitu :

* Bineheyan (dekat negeri Tomohon), dipimpin oleh seorang Magudang artinya Ketua, yang bernama Humopa.
* Balatantakan (dekat negeri Kasuratan dan Parepei), yang dipimpin oleh seorang Magudang yang bernama Boyoh.
* Tumatenden, dipegunungan Kanto, Airmadidi, Tonsea, dipimpin oleh Magudang bernama Angkoro.
* Muung Maalangen, yaitu dekat negeri Paslaten dan Matani Tomohon, dipimpin oleh Magudang yang bernama Tumpeheng.
* Bukidi dekat Burudu Diaga, dekat negeri Darunu, dipimpin oleh Magudang yang bernama Mokosoroy. Mereka ini yang kemudian hari mendirikan negeri Talawaan Bantik.
* Somoit (didaerah Bolmong), dipimpin oleh dua orang Magudang yang bernama Pontosumbirang dan Mahadia. Sebagian dari mereka yang kemudian hari mendirikan negeri Tanamon yang sekarang di daerah Minahasa Selatan.
* Di Pegunungan Pure (Amurang), dipimpin oleh Magudang Monaga. Pegunungan ini disebut juga Gunung Bantik.

Selanjutnya mereka yang tinggal di Balantakan, Muung Maalangen, Bineheyan dan yang di pegunungan Pure, kembali dan mendiami “Kantang Bantik”, yakni Gunung Bantik yang terletak di dekat Pineleng dan Warembungan. Daerah tersebut dahulunya ditempati oleh nenek moyang mereka, tetapi kemudian ditinggalkan karena adanya penyakit sampar. Segera setelah anak suku Bantik yang berada pada empat lokasi tersebut berkumpul dan tinggal menetap di Gunung Bantik, mereka mengangkat Humaisi menjadi Pemimpin, yang dalam bahasa Bantik disebut “Gudangne”, dan Mamosey diangkat menjadi “Mogandi” (kepala perang) mereka.

Sedangkan anak suku Bantik yang di Bukidi dan Kaho, walaupun tidak ikut pindah ke Gunung Bantik, tetapi mereka mengakui “Gudangne” Humaisi dan “Mogandi” Mamosey sebagai Pemimpin mereka, dan mereka saling mengunjungi satu dengan yang lainnya, baik pada pesta-pesta perkawinan maupun kematian, dan lain-lain.

Berdirinya negeri Minanga (Malalayang) dan Pogidon

Sebagian anak suku Bantik yang tinggal di “Kantang Bantik” (Gunung Bantik) pada masa kepemimpinan “Gudangne” Kasiaha, pergi mendirikan negeri “Minanga” (Malalayang sekarang). Daerah tersebut masih berupa hutan dan belum berpenghuni. Di sepanjang pantai negeri Minanga, mereka menanam semacam pohon kayu yang warna daunnya muda, disebut oleh orang Bantik “Kayu Bulrang” dan lazim disebut orang sekarang ini “Kayu Bulan”. Pohon kayu ini kelihatannya sangat mencolok bila dipandang dari kejauhan, sebab warna daunnya yang kuning muda itu sangat kontras dengan warna pohon-pohon kayu lain yang tumbuh disepanjang pantai Minanga.

Kemudian pada masa “Gudangne” Rombang, sebagian anak-suku Bantik di Gunung Bantik, pergi mendirikan negeri “Pogidon” yang letaknya sebelah selatan muara sungai Tondano, dimana daerah tersebut sama dengan Minanga, awalnya masih berupa hutan dan belum berpenghuni. Adapun pusat perkampungannya didirikan tepatnya di Makorem (bersebelahan dengan Kantor Pos Manado sekarang) dan sekitarnya, dan ditandai dengan penanam 7(tujuh) pohon “Kayu Dondo”.

(Sangat disayangkan, sebab sewaktu Kolonel Soetrisno menjabat sebagai komandan Korem 131 Santiago, 5 (lima) dari 7 (tujuh) pohon legenda tersebut telah ditebang. Sedangkan 1 (satu) dari 2 (dua) pohon legenda yang tertinggal (sisa) ditebang pula oleh Letkol Runtukahu pada tahun 2000. Sekarang, tahun 2006 masih tertinggal 1 (satu) batang tuur (stumb) yang ditumbuhi oleh cabang/ranting muda di-halaman markas Korem 131 Santiago Manado. Lagi pula, di halaman samping kiri Makorem 131 tersebut terdapat sebuah selokan (stream) bernama “kali Pogidon” yang sampai sekarang eksis mengalir kearah Reklamasi Megamall Teluk Ma-nado di antara gedung Kentucky Fried Chicken dan kantor Asuransi PT Jasindo Manado) (Joutje Koapaha, 2006)

Di sekeliling negeri Pogidon banyak ditumbuhi semacam pohon kayu yang daunnya lebar-lebar yang disebut “Kayu Benang” (Wenang). Kulit batangnya biasa dipakai oleh orang Bantik untuk mencelup pukat penangkap ikan, supaya kuat dan bertahan lama. Oleh karena itu negeri Pogidon itu disebut juga “Benang” (Wenang).

Antara negeri Pogidon (Benang/Wenang) dan negeri Minanga pada zaman itu tidak ada berpenghuni, hanya hutan belaka dan tempat-tempat perkebunan orang Bantik.

Adapun pohon kayu bulrang yang ditanam oleh mereka yang tinggal di Minanga, adalah sebagai tanda kepada kawan-kawan dan keluarga yang ada di Pogidon, supaya bilamana mereka di Pogidon itu memandang kesana, akan tampak pemandangan indah di tepi pantai, disitulah letaknya negeri Minanga. Biarpun mereka tinggal menetap di dua lokasi yang cukup berjauhan pada waktu itu, tetapi dengan memandang pohon-pohon “kayu bulrang” tersebut, mereka merasa seolah-olah seperti berdekatan saja. Oleh karena itu pula, kadang-kadang orang Bantik di “Minanga” disebut juga “Orang Bantik Kayu Bulrang” oleh orang Bantik yang tinggal di tempat lain.

Selanjutnya Gudangne Rombang berkedudukan di Pogidon, menjadi Pemimpin semua orang Bantik yang menetap di Bukidi, Kaho, Minanga dan Pogidon tentunya, kecuali orang Bantik yang di Somoit, Bolaang Mongondow dan di Tanamon Minahasa Selatan, mereka itu berdiri sendiri jauh terpisah dari orang-orang Bantik lainnya.
Pulau Manado Tua, Kedatangan Bangsa Portugis dan Spanyol

Pulau Manado Tua yang terletak berhadapan dengan negeri Pogidon dan Minanga, pada zaman itu disebut “Pulau Manadou”, pulau tersebut tidak berpenghuni karena ditinggal oleh orang “mangindanou” yang terkenal sebagai bajak laut. Orang mangindanou yang tinggal di pulau tersebut dinamakan “orang manadou” oleh orang Bantik. Setelah lama tidak berpenghuni, kemudian datang kesana suku “Babontehu”, jumlahnya hanya sedikit, kurang-lebih 30-40 kepala keluarga, dan oleh orang Bantik disebut juga mereka itu “orang manadou” tapi dari suku Babontehu. Mereka bersahabat dengan orang-orang Bantik yang tinggal di Pogidon dan Minanga.

Pada zaman itu, ± tahun 1570-1606 datang bangsa Portugis berlabuh pulau Manado Tua, selanjutnya bersama orang Manadou, mereka datang ke negeri Pogidon (Wenang) untuk tukar-menukar hasil bumi penduduk negeri Pogidon (Wenang) dan Minanga (Malalayang). Bangsa Portugis tidak tinggal menetap di Pogidon (Wenang), mereka seringkali datang dan pergi, dan tampak seolah-olah mereka hanya ingin bersahabat.

Setelah bangsa Portugis, datang pula bangsa Spanyol ± tahun 1607-1650 dengan kapal mereka berlabuh dimuka negeri Pogidon. Masuknya Spanyol ke Pogidon menyebabkan bangsa Portugis menjadi jarang datang dan akhirnya tidak pernah muncul kembali.

Orang Spanyol mulai bersahabat dengan orang Bantik, mereka mendirikan pabrik batu-bata dan mendirikan rumah-rumah disekitar negeri Pogidon, yaitu sekeliling Kantor Pos Manado sekarang, dan mengatur perusahaan-perusahaan yang mereka dirikan.

Awalnya orang Spanyol ini sangat dihormati oleh orang Bantik Pogidon, tetapi lama-kelamaan terlihat siasat mereka ingin menguasai orang-orang Bantik dan para Pemimpinnya. Orang Bantik tidak senang dengan perilaku orang Spanyol ini sehingga timbul permusuhan tetapi tidak sampai terjadi peperangan.

Ternyata orang Spanyol ini tidak disukai juga oleh orang “Minahasa” lainnya, sehingga mereka bermaksud pergi memanggil orang-orang Belanda yang ada di Maluku untuk bersahabat dan memintakan bantuan untuk mengusir orang Spanyol. Dalam perjalan ke Maluku, mereka diantar oleh 2(dua) orang “tonaasa” Bantik yang bernama Samolra dan Sahumanang sebagai penunjuk jalan. Dua orang tonaasa Bantik ini sangat menguasai pencarian laut yang disebut “matambung”, yaitu pencarian yang sarat dengan pertempuran senjata melawan orang-orang Mangindanou, Lolada dan Tobelo, sebagai bajak laut. Samolra dan Sahumanang ini sering pergi sampai ke pulau Batang Dua, didekat Maluku, untuk mencari penyu, ikan dan lain-lain. Mereka sangat paham mengenai jalannya bintang, sebagai pedoman untuk perjalanan dilaut.

Kedatangan Bangsa Belanda

Orang Belanda ± tahun 1658 mendarat di Pogidon dengan kapal-kapal mereka, dan mulai mengusir orang-orang Spanyol. Di Pogidon atau dikenal juga dengan nama “Wenang”, mereka mendirikan rumah-rumah di bekas rumah orang Spanyol.

Sikap orang Belanda dianggap peramah pada waktu itu sehingga kedatangan mereka disenangi oleh penduduk tanah Toada-Lumimuutu, mereka mulai mencampuri urusan penduduk, menolong mengatur mata-pencaharian, menukar barang-barang mereka dengan hasil bumi penduduk, dan dengan kecerdikannya lama-kelamaan mereka mulai berkuasa dan perlahan-lahan tanah Toada-Lumimuutu menjadi jajahan Belanda.
Gelar Gudangne (Pemimpin) diubah menjadi Kepala Balak

Pada tahun 1788, orang Belanda mulai mengganti gelar Gudangne menjadi “Kepala Balak”. Kepala Balak pada waktu itu belum menerima gaji dan belum ada peraturan membayar pajak.

Kepala Balak hanya menerima pemberian-pemberian dari rakyat seperti biasa sejak dulu (diberikan kepada Gudangne) disebut “Habua” yaitu pemberian berupa : padi, jagung, sayur-mayur, hasil buruan, hasil tangkapan ikan dan lain-lain, yang diberikan menurut kerelaan masing-masing kepala keluarga. Demikian juga rumah tinggalnya diselenggarakan oleh rakyat.

Pemerintah Belanda mulai menuntut macam-macam dari rakyat, dan mulailah mereka mengeluarkan berbagai-bagai aturan, dan rakyat disuruh secara paksa untuk menanam kopi. Hal ini tidak disenangi oleh rakyat, maka Kepala Balak pada waktu itu bernama Kapugu yang juga tidak setuju dengan tindakan Belanda tersebut dan mengajak rakyat untuk melawan pemerintah Belanda.

Mereka mengadakan “Bakidang” (musyawarah) dengan seluruh kepala negeri Bantik, dan diputuskan untuk menyerang semua orang Belanda yang di Pogidon (Wenang), untuk itu semua orang Bantik yang mau ikut berontak diambil sumpahnya dengan menyembelih babi.
Rencana tersebut tercium oleh Belanda, dan dengan segera Belanda datang membujuk Kepala Balak Kapugu, lalu menarik segala peraturan dan perintah-perintah yang menimbulkan kemarahan rakyat. Dengan kecerdikan halus Pemerintah Belanda berhasil membujuk Kepala Balak Kapugu dan diasingkan ke Belang, Ratahan, sebab dianggap sangat berbahaya. Sampai pada hari tuanya Kapugu dipulangkan kembali ke negeri asalnya.


Sumber bacaan:
Sejarah Anak Suku Bantik oleh Pdt. M. Kiroh, 1968

dikutip dari : Jeldy Tontey
Label: Sejarah Bantik