Laman

Selasa, 09 Februari 2010

Balralrogodo dan Uheytinenden.

Tersebutlah disebuah pemukiman tua sekelompok leluhur masyarakat Bantik bernama Pulrisan (Pulisan) paska evakuasi tenggelamnya sebuah pulau (Panimbulran) di kepulauan Porodisa (SATAL). Negeri Pulisan didirikan oleh keluarga-keluarga yang dipimpin oleh para leluhur masyarakat Bantik yang terkenal seperti Lrobogia (Lombogia), Maidangkai (Mailangkay), Sumalroto (Sumaryoto), Sigaha (Sigar), dan Mainalro (Mainalo). Makin besar jumlah penduduk negeri Pulisan itu dan segera terkenal kemana-mana. Pada jaman dahulu, di perkampungan Pulrisan terdapat satu keluarga yang mempunyai dua anak kakak-beradik. Yang sulung adalah pria bernama Balralrogodo dan yang bungsu adalah wanita bernama Uheytinenden, yang biasa disebut Uhey. Sejak kecil sampai meningkat dewasa, keduanya selalu jalan bersama ke mana saja, tak pernah berpisah barang sekalipun. Karena ayah kandung mereka telah tiada dan yang mengurus serta memelihara mereka tinggal ibu semata. Sebagai seorang pria yang satu-satunya dalam keluarga tersebut, Balralrogodo telah berperan sebagai ayah bagi anggota keluarga, mencari nafkah membantu ibunya dalam menghidupi mereka. Namun dalam pelaksanaan pekerjaannya, Balralrogodo selalu disertai oleh adiknya Uhey. Menjelang dewasa, dari hari kehari Uheytinenden tampil semakin menawan, dan tentunya menggairahkan setiap pandangan mata pemuda di perkampungan tersebut. Uhey merupakan satu-satunya gadis yang tercantik di perkampungan Bantik itu. Walaupun sudah dewasa, kakak-beradik ini selalu bermain bersama baik menjelajahi hutan, mandi/berenang di laut maupun bergaul dalam perkampungan. Pernah terjadi tatkala berjalan-jalan di tepi pantai kaki Uhey tertusuk duri sehingga kakaknya Balralrogodo harus menggendong pulang ke rumah mereka.

Suatu saat datanglah pinangan keluarga seorang pemuda kepala suku masyarakat Bantik dari wilayah Mandolrang. Pinangan kawin untuk Uhey diterima keluarganya dan perkawinan segera akan dilangsungkan. Sementara itu tampak kelihatan tanda-tanda aneh bahkan perasaan yang menyimpang walaupun disembunyikan kakaknya Balralrogodo terhadap adiknya Uhey menjelang hari bahagianya itu. Karena usianya yang sudah pantas untuk berumahtangga, Balralrogodo sering ditawari ibunya untuk memilih dan mengawini salah satu gadis yang terdapat di perkampungan tersebut, tapi selalu ditolaknya. Lama-kelamaan bagai serangga menghisap nektar bunga, timbullah rasa cinta dan nafsu birahi yang membara dari Balralrogodo atas adiknya Uhey. Karena Uhey telah dipinang oleh pemuda lainnya, maka pergaulan dan keakraban kakak-beradik ini sebagaimana biasanya merenggang. Bahkan ada kalahnya Balralrogodo mengalami kesulitan untuk bercengkrama secara bebas dengan adiknya, terutama ketika orangtua bersama calon suaminya berada di rumah untuk mempersiapkan perkawinannya.

Suatu hari tatkala tak ada orang di rumah, Balralrogodo mempergunakan peluang ini untuk menemui Uhey di kamarnya. Balralrogodo berkata “Uhey, tak lama lagi kita akan berpisah sehingga kumohon agar kau memenuhi permintaanku yang terakhir”. Apa permintaanmu itu kak ? tanya Uhey. Kakaknya menjawab: permintaanku ialah ”bolekah engkau meminjaki rambutku ini, sebab tak lama lagi engkau akan menjadi milik orang lain”. Uhey bertanya lagi: bagaimana caranya ? “Kau minyaki rambutku diatas pahamu” demikian kata Balralrogodo. Uhey terperanjat dan curiga pada kakaknya, namun ia tidak kuasa pula untuk menolak permintaan kakaknya. Karena kepalanya diolesi minyak diatas paha Uhey, keadaan ini telah memicu hawa panas-dingin birahi Balralrogodo memuncak dimana akhirnya ia tidak dapat kuasai lagi,,...., dan menyetubui Uhey yang lagi tidak berdaya itu. Kesucian adiknya berhasil direngutnya. Setelah sadar dengan keadaan kritis dan perbuatan yang tidak sepantasnya mereka lakukan, Uhey melompat dan berpegang pada tiang raja (pahumpung) dalam rumah tersebut dan berseru : “Paka tanga-tangada’ kumu sumpung su huang Balrey !, kinabua te bo kaselrei-selrei ngkumu kalrimu kami; pangkelreanku su Mabu Makanayang bo su Makabalrang, dingan nu hangan-hangan gagudang, bo kidusu’ tumpan nao pakatanga-tangada, ka iya puyun toumata kahambata, bo tumpa nai hudanu su dunia, pangkelrean ku dumulru kumilra, dingan kami dua pahuntia su tanpa ne, mualri batu”. (Terjemahan bebas artinya: “Hai malaikat penjaga rumah ! Sungguh kamu telah melihat dan menyaksikan perbuatan kami berdua, olehnya kumohon dan pinta pada Dewata Raja Mahabesar dan Maha Kuasa serwa sekalian alam, dan para malaikat penjaga empat penjuru angin serta arwah leluhur. Datanglah semuanya !!!. Bahwa sanya kami keturunan dari orang Kayangan yang didatangkan di bumi. Datanglah anda semua, turunkanlah kilat, petir, dan halilintar. Pisakanlah kami berdua dan buatlah kami menjadi batu”). Seketika langit bagai dibelah, bumi bagai diobrak-abrik, halilintar dan petir sabung-menyabung, semuanya tak dapat dikendalikan lagi. Semburan api dan kilat petir menyambar tempat tinggal bersama kedua kakak beradik itu. Dimana tanah tempat kediaman mereka terbelah dan longsor (na pulrisi) diterjang badai serta merta mereka terhempas ke dalam laut pesisr.

Kedengaranlah tangisan kematian (Lrumolro) sekitar pesisir perkampungan Pulisan, tangisan yang berbarengan dengan menjelmanya Balralrogodo dan Uheytinenden menjadi ke-2 batu. Balralrogodo yang disebut orang sebagai “Batu Lelaki” yang sedang memegang sebuah Pahigi (pisau), dan Uhey menjelma menjadi sebuah batu yang disebut “Batu Perempuan” sambil berkerudung tutup kepala dengan Tohong (tolu). Menurut ceritra warga masyarakat Pulisan, perairan laut tempat kedudukan ke-2 batu tersebut akhir-akhir ini menjadi angker dan menyeramkan, bila pengunjungnya ribut-ribut atau melakukan keonaran. Sehingga berdasarkan kepercayaan mereka, perahu nelayan yang sedang berlayar bila melintasi tempat itu pantang gaduh, harus tenang, sebab ombak akan menggila dan datanglah pula malapetaka. Inilah ceritra tentang perempuan keramat (Kahambata) yang pintanya berdoa (Makiunabiti) dijawab oleh Dewata. Berikut ini dapat dibaca berupa syair tangisan Balralrogodo ketika tragedi besar itu terjadi, yang dalam adat masyarakat Bantik disebut “Lrumolro” (melantunkan kidung kematian). Balralrogodo: “Oh yu ku ka’asi kadiman Uheytinenden, ka ia bo napa kabua-buanu ken, adiei ia lrupa-lrupanen (artinya : Hai adikku sayang Uheytinenden, kerena keadaanku masih dapat kau pandang, maka sudilah kiranya engkau tidak melupakanku). Demikian pula tangisan Uhey: “Oh do ku kalroku Balralrogodo, ka ikau ia nualri te kagagioku inggie ” (artinya : kasihan saudaraku Balralrogodo, aku sudah jadi begini karena kau juallah sebabnya). Demikianlah tragedi kisah ini, terpatri secara turun-temurun dalam kehidupan masyarakat Bantik di negeri Pulisan. Dimana perkampungan para leluhur tersebut menyandang nama ”Pulisan” yang berasal dari peristiwa ”Tanah Na Pulrisi” (artinya dalam bahasa Bantik tanah terbelah dan longsor terhempas kedalam laut) karena diterjang badai topan sebagai akibat dari perbuatan asusila dari kedua kakak-beradik tersebut. (dikisahkan kembali oleh J. Koapaha)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar