Laman

Selasa, 09 Februari 2010

Kisah Tentang Dumusumabingi (Biou Ni Dumusumabingi)

Dumusumabingi menyandang namanya dalam kata dan arti Bantik, yakni “ Si Semerbak Wangi”. Karena memiliki postur tubuh atletis yang tinggi kekar, memiliki dada yang bidang, pemuda yang tampan nan kulit putih berambut panjang ini selalu memancarkan bau yang wangi ketika berpapasan atau berada ditengah-tengah pergaulan sekampungnya. Pemuda Dumusu dikatakan memiliki dada yang bidang sebab ketika pemuda ini lagi berbaring (tidur) dengan posisi miring diatas Bangku Malrompada (dipan lebar), maka seekor kucing dapat dengan leluasa melewati rongga yang tercipta di bagian ketiak antara tubuh dan dipan tempat pembaringannya. Selain sangat tampan, pemuda ini rajin membantu orangtuanya, suka menolong sesama dan terkenal pemberani (kohotey). Sehingga ia memperoleh sebuah predikat di kampungnya sebagai ”Kohotey Banti”. Olehnya, Dumusu sering dikerumuni gadis-gadis cantik bahkan sangat diminati untuk menjadi suami oleh hampir setiap anak gadis yang ada di kampungnya.

Pada jaman purbakala, sifat homo-homini lupus para leluhur masyarakat Bantik sama halnya dengan keturunan dari nenek moyang Tou Minahasa lainnya, yakni sering terlibat dengan suatu perkelahian atau peperangan kelompok. Dalam peperangan ini terjadi tindakan saling bunuh-membunuh dan membinasakan diantara mereka karena berbagai penyebab. Ada yang disebabkan karena memperebutkan suatu tempat yang memiliki sumber penghidupan yang bernilai tinggi (misalnya sarang burung walet), ada yang disebabkan karena persoalan batas teritorial, dan ada yang disebabkan karena sifat persaingan ras/kelompok dengan istilah homo-homini lupus (artinya merupakan proses seleksi alam dimana satu ras dapat mempertahankan hidup hanya dengan mengorbankan atau melenyapkan ras yang lain). Pergi berperang secara kelompok, dalam bahasa Bantik disebut ”Mako Mahisakulru” atau ”Mabukuan” atau ”Maneke” di suatu medan laga tertentu. Medan laga bisa saja di tempat pemukiman musuh. Berdasarkan mitologi Bantik dalam hal berperang, para leluhur menanamkan suatu tradisi dan semboyan spirit atau yel-yel dengan kalimat ”Banti Taya Mababata”, yang artinya: Bantik tidak pernah kalah. Hal ini terjadi karena sebelum mereka pergi berperang, para pemangku jabatan lembaga adat Bantik seperti: Lrelrean, Talrenga, Balrian, dan Mogandi (Panglima Perang) selalu menyelenggarakan suatu upacara adat untuk bertanya dan mendapatkan jawaban dari para Empung Penguasa Jagat Raya. Tugas dari Lrelrean (Lelean), yakni mendatangi suatu tempat keramat sekelompok leluhur sakti yang terdapat di ujung kampung. Bila dari dalam tempat keramat tersebut dikeluarkan busa berwarna merah, artinya rencana/program Mahisakulru telah direstui dan pasti akan mengalami kemenangan. Bila busa yang keluar adalah berwarna putih, maka rencana Mahisakulru tersebut harus dibatalkan atau ditunda, sebab pasti akan mengalami kekalahan. Selain ini ada lagi yang harus didengar dari Talrenga, yang tugasnya ialah mendengar suara burung Bantik, apakah itu bunyi suara Manguni pada malam hari atau bunyi suara burung Bahakeke pada siang hari. Suara burung ini sebetulnya merupakan suatu konfirmasi dari hasil yang diperoleh Lrelrean, dan biasanya hal ini harus diperhatikan saat-saat atau ketika berada dalam perjalanan Mahisakulru. Upacara adat Bantik untuk memperoleh petunjuk kemenangan atau kekalahan dimaksud, menjadikan para leluhur selalu mengalami kemenangan dalam peperangan atau pertempuran apapun. Sebab bila petunjuk yang diterima adalah suatu kekalahan, maka jelas mereka tidak akan berani Mako Mahisakulru. Atas petunjuk para Empung ini, mendasari lahirnya semboyan para leluluhur Bantik, yaitu: ”Banti Taya Mababata”.

Sekali waktu Potuosan (Pemimpin Kelompok) perkampungan dimana Dumusumabingi tinggal, mengumumkan suatu palakat bahwa kampung mereka akan menghadapi ”Mabukuan” (Mahisakulru) dimana semua kaum pria diminta siap-sedia dan ikut dalam pertempuran tersebut. Setelah Lrelrean melaksanakan tugasnya (melangsungkan upacara adat), memperoleh petunjuk bahwa mereka akan menang dalam Mabukuan tersebut. Karena tempat Mabukuan agak jauh, maka semua pria termasuk pemuda Dumusu berangkat menjelang malam dengan perhitungan mereka akan tiba dan menyerang sasaran menjelang pagi hari. Senjata perang Dumusumabingi adalah sebuah tangkung (semacam samurai) dan sebua tombak yang di ujungnya dipasang golrong-golrong (bunyi-bunyian golong). Namun di tengah jalan, burung Manguni berbunyi dengan memberi petunjuk suara bahwa pertempuran tersebut hanya bisa dimenangkan oleh mereka yang telah berusia lanjut. Berdasarkan suara Manguni itu, Talrenga memberi nasehat/petunjuk pada Mogandi (Panglima Perang), agar mereka-mereka yang masih tergolong usia muda (termasuk Dumusumabingi) tidak diperkenankan untuk ikut dalam medan laga tersebut. Pada malam itu juga dipulangkanlah Dumusu bersama teman-teman seusia mudanya yang lain. Keesokan harinya (cewek-cewek penggemar Dumusu yang notabene tidak tahu-menahu dengan pokok persoalan) gadis-gadis yang ada di kampungnya merasa kaget melihat Dumusu yang tinggal di kampung dan tidak ikut dalam rombongan peperangan tersebut. Sehingga mereka mengeluarkan kata-kata olokan dan sindiran padanya sebagai berikut: “Ulri ka Kapuna Kohotey, Tou Matalrou kute” (artinya dalam bahasa Indonesia: “Katanya Pemberani, Tapi Ternyata Seorang Pengecut/Penakut”). Karena merasa tersinggung dan malu dengan kata-kata sindiran para gadis tersebut, akhirnya Dumusu dengan senjata Tangkung (sejenis samurai) dan Bongkou (Tombak) ditangan berangkat sendirian pergi menyerang musuh. Pada sore hari, kelompok yang pergi Mabukuan tersebut telah kembali dengan kemenangan (artinya tidak seorangpun dari anggota kelompok yang tergores atau luka sekecilpun oleh senjata musuh) namun tidak berpapasan (tidak ketemu) dengan Dumusu di jalan. Menjelang makan malam, kakak pria tertua keluarga Dumusu diantara anggota keluarganya, bertanya: mana Dumusu ? Karena kebiasaan anggota keluarga dalam rumah tersebut selalu lengkap bila melangsungkan makan malam bersama. Dijawab oleh adik-adiknya tidak tahu.

Sewaktu sedang berbaring diatas tempat tidur, kakak pria tertua Dumusu yang juga baru saja kembali dari Mabukuan tersebut, terkejut setelah mendengar suara golong-golong Tombak Dumusu yang melengking tinggi dengan ritme cepat yang dikenalnya sebagai bunyi dari senjata perang adiknya Dumusu. Berkatalah Kakak tertua Dumusu (yang sudah berkeluarga) pada istrinya bahwa adiknya sedang terlibat dengan perang sengit sendirian melawan musuh kampung mereka. Semua anggota keluarga dalam rumah tersebut (termasuk ayah dan ibu kandung Dumusu yang sudah renta) akhirnya dibangunkan (semalam suntuk yang diterangi bulan purnama mereka sudah tidak lagi tidur) dimana mereka kumpul bersama dalam beranda rumah sambil mengikuti (mendengar) lengkingan suara senjata perang Dumusu. Menjelang pagi hari, ritme dengungan bunyi golong-golong pada tombak Dumusu makin lambat dan makin memudar. Berkatalah ayah kandung Dumusu (dalam bahsa Bantik): “Madadiha Te I Tuadi Nu” Setelah fajar menyingsing, bunyi golong-golong senjata Dumusu kedengarannya tinggal satu-satu. Sehingga kakak Dumusu yang tertua (setelah mendapat persetujuan orangtua kandungnya) segera memperlengkapi dirinya dengan senjata perangnya untuk menyusul adiknya yang lagi kepayahan di medan laga tersebut. Sesampainya di tempat Mahisakulru (medan laga), kakaknya menyaksikan ratusan tubuh mayat musuh berserahkan dimana-mana sebagai korban kedasyatan senjata adiknya. Juga didapatinya, Dumusu ternyata sudah tidak dapat bergerak secara leluasa karena tubuhnya sudah tidak dapat berdiri tegak sebab salah satu kakinya “Kinabintusu” (telah terjerat oleh tali musuh yang sangat sulit diputuskan). Walaupun sudah dalam keadaan pincang dan posisi bertahan, kedua tangannya yang kekar masih terus memainkan senjatanya dan satu-dua korban terus berjatuhan bila musuh mendekatinya. Juga walaupun pakaiannya telah compang-camping terkena senjata musuh, namun pada badannya hanya terdapat satu goresan pada bagian lutut kaki yang telah terjerat tersebut. Kakaknya berkata: Ah,.. Ikau Madadiha Te (artinya: engkau sudah kepayahan), dan langsung menawarkan bantuannya tapi ditolak oleh Dumusu. Pihak musuh juga mengira bahwa kehadiran seseorang (yang notabene adalah kakak kandung Dumusu) itu akan diikuti oleh yang lain sebagai anggota pasukan yang siap datang membantu Dumusu. Sehingga pasukan musuh surut beberapa meter ke belakang dan tidak menyerang kakak-beradik tersebut. Sebab mereka pikir, untuk mengalahkan seorang pemuda saja sudah sangat sulit apalagi sudah ketambahan yang lain. Pihak musuh terus meng-amat amati perkembangan situasi dan percakapan Dumusu dengan seseorang yang baru datang tersebut. Kakaknya telah tawarkan bantuan untuk memutuskan jerat pada kaki Dumusu dan mengajak adiknya untuk pulang, tapi semuanya ditolak oleh Dumusu. Kata Dumusu pada kakaknya, bahwa tidak mungkin ia akan kembali berada di tengah masyarakat dan keluarga di kampungnya dengan membawa bekas jeratan tali musuh di kakinya dan goresan senjata musuh pada lututnya. Hal ini merupakan sesuatu yang memalukan dikalangan leluhur masyarakat Bantik. Sebab berdasarkan mitologi dan tradisi Bantik, orang-orang yang dipersiapkan untuk pergi Mahisakulru jangankan hanya tergores atau luka sekecil apapun. Bahkan bila seutas rambutpun terputus oleh senjata musuh, maka secara adat itu dianggap memalukan sehingga yang bersangkutan tidak boleh atau malu untuk kembali pulang ke kampung halamannya. Yang bersangkutan dianggap kalah dalam peperangan, sehingga setibanya di kampung, Mogandi (Panglima Perang) cukup hanya (tanpa berkata sepata katapun) dengan melempar sebatang Kumunou (daun woka kering) keatas atap rumah keluarga yang bersangkutan. Dengan demikian, pihak keluarga penghuni rumah tersebut mengetahui bahwa anggota keluarganya yang ikut dalam kelompok Mahisakulru telah gugur di medan laga. Hal ini menunjukkan jiwa kesatria dan tradisi turun temurun dalam kehidupan leluhur masyarakat Bantik yang dipersiapkan sebagai anggota pasukan yang ikut Mahisakulru atau Mabukuan pada jaman dahulu. Artinya mereka lebih memilih mati ketimbang hidup menanggung malu karena mewarisi ceritra ”mengalami luka ketika ikut kelompok Mahisakulru”.

Dumusu meminta kakaknya untuk segera pulang ke kampung halaman mereka, karena Dumusu sendiri telah berketetapan untuk menyerahkan kematiannya pada pihak musuh, yakni siap diperlakukan sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Kata Dumusu: ini sudah merupakan suratan takdirnya. Kemudian kakak beradik tersebut berpelukan sambil menangis, dan dengan suasana yang sangat mengharuhkan Dumusu meminta kakaknya untuk menyampaikan mohon maafnya pada Lrelrean, Talrenga, Mogandi, dan Orangtua/Keluarganya (termasuk pacarnya) karena Dumusu sadar telah lakukan suatu kesalahan besar. Sebab telah melawan adat-istiadat, yaitu dengan diam-diam bahkan tanpa sepengetahuan dan seijin Mogandi pergi menyerang musuh seorang diri. Karena merasa malu/tersinggung oleh kata-kata olokan gadis-gadis di kampungnya (yang notabene sirik terhadap pacarnya dan bahkan tidak mengetahui perintah/petunjuk Mogandi/Talrenga bahwa Mabukuan ketika itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang dewasa dan bukan untuk orang-orang muda seperti halnya Dumusu). Kakaknya tidak langsung pulang meninggalkan medan laga tersebut tapi surut bersembunyi sebab ingin menyaksikan apa yang akan diperbuat oleh pihak musuh terhadap adiknya Dumusu. Kemudian ia mendengar permintaan adiknya pada pihak musuh, agar segera menghampirinya untuk mengakhiri hidupnya. Kemudian pimpinan perang musuh mendekati Dumusu setelah Dumusu telah letakkan senjatanya jauh-jauh dan dengan keadaan pasrah menundukkan kepalanya, pertanda rela untuk dieksekusi. Selanjutnya pimpinan musuh itu mengangkat pedang terhunus dan memenggal dengan muda kepala Dumusu. Setelah kepala Dumusu terpisah dari badannya, bergemuruhlah teriakan yel-yel kegirangan pihak musuh. Sebab bukan sedikit (ratusan) korban yang jatuh dipihak musuh akibat terjangan kedasyatan senjata pemuda sakti Dumusumabingi. Yang sudah semalaman dan menjelang siang hari bertempur namun belum juga terkalahkan walaupun hanya seorang diri.

Selanjutnya kepala Dumusu dengan rambut kepalanya yang panjang diikatkan pada sebatang kayu dan dipikul oleh 2 (dua) orang, sambil pihak musuh kembali ke kampung halamannya. Setelah musuh meninggalkan medan laga, kakak Dumusu segera menggali lubang dan menguburkan tubuh adiknya yang sudah tak berkepala itu. Bahkan menurut mitologi Bantik, kepala Dumusu ini masih sempat menyerang dan membunuh 2 (dua) orang pemikulnya dengan menggigit putus kemaluan (penis dan buah pelir) mereka. Setiba mereka di kampung halaman, kepala Dumusu digantung di belakang rumah milik kepala perang musuh yang tidak jauh dari beberapa Kakepotan (tempat bertelurnya ayam) yang ada disitu. Pada keesokan harinya, didapati bahwa kepala Dumusu telah memagut mati dan makan semua ayam dan telur yang ada di semua Kakepotan tersebut. Menyaksikan hal itu akhirnya pimpinan perang musuh itu jengkel dan marah sekalian kuatir jangan-jangan akan ada lagi jatuh-korban sehingga mereka memutuskan agar kepala Dumusu harus dibelah menjadi 2 (dua) bagian. Setelah dibelah, bagian kepala Dumusu menjadi Kiokioko (burung elang) sedangkan otak kepalanya berhamburan menjadi Patiukan (Opu Babi Merah). Jadi berdasarkan mitologi Bantik, orang Bantik percaya bahwa Kiokioko (burung elang) yang sampai sekarang masih memangsa ayam peliharaan musuh para leluhur Bantik pada jaman purbakala. Sedangkan Patiukan yang sering juga menyerang dan menyengat orang sampai mati, diyakini pula oleh keturunan leluhur masyarakat Bantik, yaitu merupakan penjelmaan penyerangan roh pemuda sakti Bantik Dumusumabingi atas musuh-musuh mereka.

Demikianlah kisah riwayat pemuda perkasa Dumusumabingi, yang telah ditokohkan dan diwariskan sebagai lambang kesatriaan Bantik dalam kehidupan leluhur keturunan masyarakat Bantik sampai sekarang. Simak kesatria darah asli Bantik ini yang mengalir pada seorang pemuda Bantik lainnya yang eksis pada abad-20, yaitu Robert Wolter Mongisidi. Yang terkenal dengan semboyan perjuangannya rela mengorbankan nyawanya dihadapan regu tembak demi sesama rekan seperjuangannya dalam mempertahankan Kemerdekaan Bangsa Indonesia melawan kolonialis Belanda, yakni: ”Setia Sampai Akhir Dalam Keyakinan”. (Dikisahkan kembali oleh Ir. Joutje A. Koapaha Phd)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar