Laman

Selasa, 09 Februari 2010

Kisah Kombangen (Si Pelahap Yang Tidak Pernah Kenyang).

Kombangen adalah kata Bantik yang berasal dari akar kata Kombang, yang artinya tempat penampungan makanan yang masuk ke dalam perut. Pada hewan ayam organ ini disebut Tembolok. Jadi arti dari kata Kombangen adalah orang yang tidak pernah kenyang walaupun yang bersangkutan telah makan sebesar apapun. Tersebutlah di sebuah negeri Bantik di tanah Malesung dimana terdapat sebuah keluarga yang hanya memiliki seorang putra tunggal, yang kemudian diberi nama sebagai Kombangen. Sejak bayi ini dilahirkan, telah menunjukkan keanehan pada diri Kombangen. Pertama, adalah perkembangan tubuhnya yang sangat pesat, yang mana menyimpang dari pertumbuhan normal sebagaimana bayi-bayi yang lain dalam perkampungan tersebut. Kedua, walaupun telah diberi makan sebanyak mungkin, semuanya akan dilahap habis oleh bayi tersebut. Anehnya pula bahwa perut bayi tersebut tidak mengembang, tapi tetap biasa-biasa saja sebagaimana normalnya perut bayi. Demikianlah bayi itu menyandang namanya sebagai Kombangen.

Setelah menanjak remaja, Kombangen mulai menyusahkan dan mengkuatirkan ke-2 orangtuanya. Mengapa ? Mereka mulai kehabisan sumber penghasilan dan uang untuk menghidupi putra satu-satunya yang mereka cintai tersebut. Sebab walaupun remaja ini diberi makan sebanyak: nasi 1 (satu) liter, nasi 1 (satu) belangah besar, nasi 1 (satu) dandang tetap saja dianggapnya sebagai sarapan karena tidak pernah merasa kenyang. Bila keluarga dari Kombangen diundang untuk menghadiri suatu pesta peringatan hari ulang tahun atau pesta syukuran karena keberhasilan anggota keluarga, atau pesta perkawinan, maka selalu mendatangkan heboh dan malu bagi orangtuanya. Sebab makanan pesta tersebut pasti akan disantapnya habis. Sehingga acara-acara resepsi terkait selalu mendatangkan kerugian dan malu bagi tuan pesta karena para tamunya pasti tidak akan memperoleh layanan makanan yang memadai. Akhirnya kepala suku perkampungan di mana Kombangen tinggal mengeluarkan suatu aturan larangan baginya untuk diundang atau hadir pada suatu pesta apapun yang diselenggarakan di kampung maupun di luar kampung.

Setelah memasuki usia muda, orangtua Kombangen makin lebih parah bahkan telah jatuh miskin karena harta benda mereka telah habis terjual dan tidak mampu lagi untuk menghidupi serta memberi makan anak mereka. Kesedihan menyelimuti hati ke-2 orangtuanya, karena dengan terpaksa mereka harus mengambil keputusan untuk mencari jalan bagaimana membinasakan Kombangen. Suatu hari, ayah Kombangen dengan Opasa (alat pancing ikan) di tangan mengajak putranya untuk pergi memancing di sungai yang banyak ikannya lagi pula dihuni oleh banyak Sagudang (Buaya). Setelah sengaja mengaitkan kailnya pada sebuah benda dalam sungai tersebut. Ayahnya berkata pada anaknya: ”do udumai ken opasa ni Papa, ka napa naikai te su hanga” (artinya: nak, tolong nyelam ke sungai karena mata kail papa sotagate di cabang kayu dalam sungai itu”). Kombangen tanpa pikir panjang segera membuka pakaiannya dan terjun kedalam sungai. Disaksikan oleh ayahnya sendiri bagaimana buaya-buaya ganas itu langsung menyergap tubuh Kombangen. Papanya pikir, pasti anaknya itu telah binasa diperebutkan oleh buaya-buaya tersebut, sehingga tanpa pikir panjang langsung meninggalkan sungai tersebut untuk kembali kerumahnya. Sesampainya dirumah, pria paru baya ini langsung berceritra pada istrinya bahwa pasti rencana mereka sudah terkabul, karena disaksikannya sendiri bagaimana Kombangen diterkam oleh buaya-buaya lapar dalam sungai tersebut. Tapi 5 (lima) menit kemudian, suami-istri itu tiba-tiba dikejutkan oleh kehadiran Kombangen dari belakang rumah, yang sedang memikul seekor buaya besar. Sambil berkata pada ibunya,: ”Ma ite kinasa nidingan ku, bote bo hinga ken ka iya kuman” (artinya: mama, ini ikan yang saya bawah, tolong dimasak karena saya mau makan). Sambil meletakkan ikan (buaya yang sudah mati) besar tersebut diatas para-para di ruangan dapur rumah itu. Akibatnya rumah dari keluarga ini diserbu para tetangga untuk menyaksikan hasil tangkapan Kombangen yang notabene menghebohkan seisi kampungnya. Lantas ayah Kombangen selanjutnya menyusun rencana lain untuk melenyapkan anak itu. Dengan sebuah ”Balriung” (Tamako) ukuran besar tajam ditangan, berjalanlah ayah Kombangen dalam sebuah hutan rimba yang tidak terlalu jauh dari perkampungan mereka untuk mencari batang pohon kayu besar yang telah disiapkannya untuk membunuh anaknya Kombangen. Kemudian ayah Kombangen tebang/potong setengah bagian pohon kayu besar itu dengan Balriung dan kembali ke rumahnya. Keesokan harinya, ia mengajak anaknya untuk pergi kehutan itu, dengan tujuan mencari kayu bakar untuk kebutuhan masak di rumah mereka. Sesampainya didekat pohon yang sedang ditebang ayahnya, Kombangen disuruh ayahnya berdiri pada posisi dimana arah kayu besar itu akan roboh. Setelah batang kayu besar itu tumbang, disaksikannya bagaimana kayu itu menghantam dan membenamkan tubuh anaknya kedalam tanah. Dipikirnya pasti Kombangen telah tewas. Dengan tenang ayah Kombangen kembali ke rumah dan menyampaikan pada istrinya bahwa misinya kali ini telah berhasil. Tapi baru saja mereka berkata-kata sebentar, tiba-tiba sepasang suami-istri dan penghuni kampung itu dikejutkan oleh suatu bunyi suara gemuruh yang dasyat berasal dari arah hutan rimba. Setelah dicek, ternyata bunyi gemuruh yang hebat itu berasal dari cabang pohon-pohon yang patah bahkan pohon-pohon kayu yang ikut tercabut karena digilas oleh sebatang kayu besar yang sedang dipikul oleh seseorang. Sebab pohon kayu besar yang ditebang oleh ayah Kombangen dan menimpah tubuhnya ternyata tidak dapat membunuhnya. Bahkan batang pohon tersebut sedang dipikul Kombangen bersama bagian cabang-cabangnya meluncur diatas permukaan tanah sambil menyapu bersih semua pohon-pohon yang dilaluinya, ikut terbawah Kombangen berjalan kearah tempat tinggalnya. Maklum tempat tinggal Kombangen berada di ujung kampung sehingga tidak harus melewati/menggilas rumah-rumah perkampungannya. Setibahnya di rumah dilepasnya pohon-pohon kayu besar-kecil tersebut didekat rumahnya dan berkata pada ayahnya: ”Pa, Ite te kayu pahinga eh” (artinya: Papa, inilah kayu bakar untuk keperluan masak di rumah). Kembali tindakan Kombangen ini menghebohkan bahkan menakjubkan warga yang ada di kampungnya. Ternyata Kombangen memiliki tenaga raksasa dan kesaktian yang super hebat, karena hutan yang dilaluinya telah menjadi amblash rata tanah sebab pohon-pohon besar-kecilpun turut ikut tercabut dan mengikutinya.

Akhirnya orangtua Kombangen berunding ulang bagaimana caranya supaya anak yang mendatangkan kebangkrutan dan kesialan bagi keluarga tersebut dapat disingkirkan. Keputusan diambil, yaitu dengan meng-adu Kombangen dalam suatu pertarungan/perkelahian para jagoan siapa saja atau penguasa wilayah atau daerah tertentu yang diharapkan dapat mengalahkan bahkan membunuhnya. Dengan persiapan bekal perjalanan seadanya, berkatalah ayah Kombangen pada anaknya bahwa mereka berdua akan pergi merantau mencari nafkah hidup karena kesusahan yang sedang menimpah keluarganya. Kombangen memiliki seekor anjing jantan kesayangannya bernama ”Kohotei” (Korotei) yang ikut dibawahnya dalam perjalanan tersebut. Setelah mengetahui bahwa disuatu daerah tertentu terdapat seorang jagoan yang bergelar ”Si Raja Pedang”, maka ayahnya meminta Kombangen untuk perang tanding dengan si jagoan tersebut. Setelah bertarung ternyata Kombangen dengan mudah dapat mengalahkan jagoan tersebut. Selanjutnya kedengaranlah pada ayah Kombangen bahwa disuatu daerah rimba raya pegunungan terdapat seorang penunggu yang bersama pasukannya terkenal hebat dan sangat bengis menjarah hasil kebun dan ternak masyarakat yang bermukim di daerah tersebut. Dibawalah Kombangen ketempat tersebut untuk diadu tanding dengan si penunggu gunung yang terkenal kehebatan dan kejahatannya. Setelah bertarung, ternyata Kombangen berhasil mengalahkan bahkan berhasil membunuh si jagoan pegunungan tersebut. Selanjutnya Kombangen memerintahkan anak buah si penunggu pegunungan itu untuk membagi-bagi hasil rampokkan mereka dan kembali ke rumah masing-masing. Terdengarlah pada ayah Kombangen bahwa di sebuah pulau kecil tinggallah seorang bajak laut bersama pasukannya yang terkenal hebat dan sangat ditakuti karena sering membunuh, menculik, memperkosah anak gadis, dan merompak siapa saja yang diketemukannya terutama masyarakat pesisir tanah Malesung. Karena kesaktiannya, Si Penunggu Pulau tersebut juga mendapat julukan Mamambenteng Lraodo (artinya situkang pemisah/benteng tubuh air laut). Dengan sampan kecil, ayah dan anak itu berhasil mendarat di pulau tersebut. Selanjutnya Kombangen disuruh ayahnya untuk berkelahi dengan Si Mamambenteng Lraodo yang terkenal bengis itu. Dalam perkelahian satu lawan satu itu Kombangen berada dalam keadaan sangat terdesak dan hampir kalah, tapi tiba-tiba anjing kesayangannya ”Kohotei” melompat dan menggigit Tabu (kemaluan Si Tukang Benteng Air Laut tersebut) sampai putus sehingga akhirnya Kombangen berhasil pula membunuhnya.

Selanjutnya bertanyalah Kombangen pada ayahnya: bukankah kita telah memiliki banyak bekal berupa emas dan benda berharga lainnya yang diambil ayahnya dari hasil jarahan dan rampokan si Penunggu Gunung dan Pimpinan Bajak Laut di pulau tersebut ? Mengapa kita tidak pulang saja ke rumah ? Rupanya Kombangen sadar dan tahu bahwa ayahnya menyuruh Kombangen untuk berkelahi dan membunuh bukan karena tujuan untuk mencari nafkah bagi keluarganya tapi memang bermaksud untuk melenyapkannya. Dengan perasaan hati yang berat akhirnya ayahnya berterus terang mengakui bahwa apa yang dikatakan Kombangen itu benar, karena orangtuanya sudah jatuh papah dan sudah tidak mampu lagi untuk memberi makan padanya. Dengan sikap tegas Kombangen kemudian berkata pada ayahnya, bahwa biar saja ayahnya kembali pulang sendirian ke rumah mereka. Sebab Kombangen sendiri telah berketetapan untuk memisahkan diri dari orangtuanya atau menentukan jalan hidupnya sendiri kemanapun langkah kakinya dibawah pergi oleh anjing kesayangannya Kohotei. Dengan bekal emas dan barang berharga yang telah diperoleh ayahnya melalui perkelahian anaknya Kombangen, kedua ayah dan anak tersebut saling berangkulan dengan tangisan air mata masing-masing dan akhirnya mereka berpisah untuk selamanya. Demikianlah suasana haru ini mengakhiri kisah tentang Kombangen ”Si Tukang Pelahap Yang Tidak Pernah Kenyang”. (dikisahkan kembali oleh J. Koapaha)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar